Masa putih abu-abu adalah masa di mana usia telah beranjak remaja. Mengalami masa pubertas dan berbagai kisah yang ikut mewarnainya. Saat itu aku belum terlalu memikirkan tentang dunia percintaan. Dekat dengan lawan jenis saja aku masih sulit untuk berinteraksi. Di kelas aku terkenal sebagai murid yang pendiam dan lugu. Meski terkenal sebagai kutu buku pun mereka tidak ada yang berlagak sok membully. Kami saling menghargai sesama teman tidak membedakan antara yang satu dengan yang lain.Jika ada tugas kebersihan semuanya beramai-ramai ingin membantu dan bergotong royong.
Pengalaman belajar yang menyenangkan seolah menjadi momen berharga yang tak ingin terlupakan. Merajutnya melalui goresan aksara sebagai pelipur kenangan untuk kedepannya. Aku yang dikenal oleh teman sebagai kutu buku perlahan berubah menjadi sosok yang bisa berinteraksi dengan teman yang lain agar tidak lagi canggung jika bertemu di luar sekolah. Semua teman mendukung perubahan positif dalam diriku. Mereka terus memberi dukungan terbaik untukku tanpa memandang siapa diriku ini. Aku bersyukur di tengah masa pergolakan remaja ini, teman-teman yang berada di sisiku tidak menjerumuskan pada hal yang berdampak negatif. Kami justru membuat komunitas pengembangan diri untuk menyalurkan ide dan kreativitas khas remaja. Di bantu oleh guru dan para pembimbing lainnya kini kami merasakan kebersamaan yang terajut dengan indah pada masa sekolah.
Masa sekolah memang tidak mungkin bisa dilupakan. Terajut dalam asa dan bingkai aksara kenangan. Saat aku sudah masuk remaja dan membuka diri, aku mulai menjajaki kegiatan positif sesuai dengan minatku. Minatku lebih kepada bidang menulis, oleh karena itu aku banyak mengikuti kegiatan komunitas menulis dan bedah buku. Setiap aku mengikuti komunitas atau kegiatan yang bersinggungan dengan literasi lebih khususnya tentang kepenulisan selalu bertemu teman dan pembimbing yang selalu mendukungku.
Dari kejauhan terdengar teriakan yg mengganggu gendang telingaku,
Sudah kuduga. Dina, si puitis berambut pirang bergelombang.
"Putri..!!!"
"Yaelah, lo gak nyahut-nyahut gue teriakin dari gerbang sekolah." Ucapnya sambil ngos-ngosan.
Aku hanya tersenyum geli melihat sahabatku yang sangat kukenali ini.sejak bangku Sekolah Dasar.
"Yah lu mah, gak usah teriak-teriak kayak gitu juga, gue denger kok." Candaku girang.
"Ehh lo tau gak Put? nanti habis pulang sekolah komunitas sastra bakalan ngumpul, katanya sih ada sesi materi tentang Novel, kan lo suka banget dengan pembahasan tentang novel,nanti samaan yah." Dina berucap sambil berharap agar aku ikut dengannya
"Iya, tenang aja. Aku pasti ikut kok." Aku meyakinkan Dina.
"Lu emang terbaik, oh iya, gue duluan yah. ada yg harus aku urus di ruangan ibu Mira. Kita ketemu nanti di sekret." Dina pun melambaikan tangan dan berlalu membelah keramaian koridor sekolah.
Sifat pendiam inilah yang membuatku semakin terhanyut dalam goresan aksara yang terangkai dalam novel.Aku mulai menyukai novel sejak pertama kali ayah membelikanku ketika aku masih duduk di bangku SMP. Dan hal itu memotivasiku untuk mulai hobi menulis dan berupaya merangkai sajak puitis dalam setiap lembar yang kutulis, Hingga akhirnya membuatku menjadi sosok pengagum dalam diam terhadap goresan bait-bait aksara.
Setelah bel pulang sekolah berbunyi, Dina menghampiriku di kelas dan mengajakku untuk menghadiri komunitas sastra itu.
"Put ayo! kita berangkat gue udah gak sabar nih ingin mendengarkan materi tentang novel!" sambil menarik-narik tanganku dengan suara khas nya itu.
"Iya Din, sabar dulu sebentar jangan terburu-buru seperti itu,bersemangat sekali lu."
"lah iya dong."
Dengan wajah polosnya Dina melanjutkan ucapannya.
"Soalnya kan dia ikut komunitas sastra juga." Celetuknya tanpa sadar.
"Ehh." Dina menutup mulut, membatin dalam hati ' Aduh gue keceplosan!'.
"Hah, dia siapa Din?" Tanyaku iseng
"Ah nggak, tadi bercanda aja"
"Hmm ya sudah, ayo kita berangkat!"
Sebenarnya aku mengetahui bahwa Dina menyukai seseorang yang sama denganku. Tetapi, Sifatku yang pendiam membuat aku bungkam akan hal itu. Menulis menjadi satu kegiatan yang aku geluti karena, Dengan menulis bisa menjadi inspirasiku dalam aktivitas keseharianku. Saat ini aku telah merangkai sebuah cerita dari objek inspirasiku.Yaitu, 'Dirinya Yang Kukagumi'.
Seperti yang kupikirkan, seseorang yang dikatakan oleh Dina juga datang pada komunitas sastra itu.
"Put duduk di sana yuk!" Dina menunjuk ke kursi di dekat jendela, tepatnya di sebelah dia.
Aku yang baru ingin menolak, lagi-lagi mengurungkan niat.karena, Dina sudah menarik tanganku dan membawaku duduk di sana.
Kulihat Dina tersenyum malu-malu saat orang yang dikaguminya menoleh dan tersenyum ramah. Sedangkan aku, hanya menunduk sambil mendekap sebuah buku novel kesukaanku. Hatiku meronta dalam diam, Tak ingin melihat senyumnya untuk orang lain padahal diriku bukanlah siapa-siapa untuknya.
Waktu terus berlalu. Detik telah terlewati di setiap sesi materi pembahasan tentang kepenulisan novel yang sangat dinanti dengan rasa antusias kini telah berakhir. Aku dan Dina berjalan keluar ruangan lalu cowok itu pun menghampiri kami.
"Ehm permisi!" katanya pada kami berdua.
"Iya" kataku dan Dina secara bersamaan.
Hingga membuat situasi menjadi canggung. Aku tidak melanjutkan kata-kataku begitupun juga Dina, Lalu cowok itu menyodorkan ponselnya nya ke arah Dina sembari melontarkan ucapan yang membuatku merasakan denyut sakit di dada.
"Tolong masukin nomor kamu ke ponsel ini yah,"
"Buat apa?" Sahut dina seakan tidak mengerti situasi ini
"Ada yang ingin aku bicarakan."
"Oke." Sahut Dina langsung mengiyakan tanpa berpikir terlebih dahulu seperti biasa jika ada yang meminta nomor ponselnya.
Sejak hari di mana insiden pemberian nomor ponsel itu, Cowok itu dan Dina semakin dekat dan akrab. Ternyata mereka berdua pernah satu sekolah saat SMP dan kini kembali merajut rindu yang telah lama tak bersua.
Aku tak tahu bagaimana seharusnya diri ini bersikap biasa di hadapan mereka berdua di saat aku sendiri berusaha untuk menghapus jejak rasa dan angan terhadapnya. Karena, Aku sadar tidak bisa memaksanya untuk menyukaiku dan akupun tak ingin merusak kebahagiaan Dina sahabatku dengan melarangnya untuk tidak menyukai cowok itu.
Di sini aku hanyalah seorang pengagum rahasia yang takkan pernah bisa mengungkapkan segala rasa yang ada. Mungkin lebih baik aku tetap bungkam dan merelakan segalanya.
Aku mengambil secarik kertas dari tasku, lalu penaku mulai menari dengan riang di atas kertas.
"Merelakan bukan berarti menyerah, Tetapi kita menyadari bahwa ada hal yang tidak bisa dipaksakan dalam hal mencintai dalam diam."
Aku berusaha mengukir senyum untuk hari yang akan terlewati dengan perasaan yang baru.
Semua telah digariskan oleh sang pemilik semesta dan aku tidak ingin khawatir lagi tentang rasa ini. Akan memudar atau akan bertahan dalam kepedihan.
Pengalaman belajar yang menyenangkan seolah menjadi momen berharga yang tak ingin terlupakan. Merajutnya melalui goresan aksara sebagai pelipur kenangan untuk kedepannya. Aku yang dikenal oleh teman sebagai kutu buku perlahan berubah menjadi sosok yang bisa berinteraksi dengan teman yang lain agar tidak lagi canggung jika bertemu di luar sekolah. Semua teman mendukung perubahan positif dalam diriku. Mereka terus memberi dukungan terbaik untukku tanpa memandang siapa diriku ini. Aku bersyukur di tengah masa pergolakan remaja ini, teman-teman yang berada di sisiku tidak menjerumuskan pada hal yang berdampak negatif. Kami justru membuat komunitas pengembangan diri untuk menyalurkan ide dan kreativitas khas remaja. Di bantu oleh guru dan para pembimbing lainnya kini kami merasakan kebersamaan yang terajut dengan indah pada masa sekolah.
Masa sekolah memang tidak mungkin bisa dilupakan. Terajut dalam asa dan bingkai aksara kenangan. Saat aku sudah masuk remaja dan membuka diri, aku mulai menjajaki kegiatan positif sesuai dengan minatku. Minatku lebih kepada bidang menulis, oleh karena itu aku banyak mengikuti kegiatan komunitas menulis dan bedah buku. Setiap aku mengikuti komunitas atau kegiatan yang bersinggungan dengan literasi lebih khususnya tentang kepenulisan selalu bertemu teman dan pembimbing yang selalu mendukungku.
Dari kejauhan terdengar teriakan yg mengganggu gendang telingaku,
Sudah kuduga. Dina, si puitis berambut pirang bergelombang.
"Putri..!!!"
"Yaelah, lo gak nyahut-nyahut gue teriakin dari gerbang sekolah." Ucapnya sambil ngos-ngosan.
Aku hanya tersenyum geli melihat sahabatku yang sangat kukenali ini.sejak bangku Sekolah Dasar.
"Yah lu mah, gak usah teriak-teriak kayak gitu juga, gue denger kok." Candaku girang.
"Ehh lo tau gak Put? nanti habis pulang sekolah komunitas sastra bakalan ngumpul, katanya sih ada sesi materi tentang Novel, kan lo suka banget dengan pembahasan tentang novel,nanti samaan yah." Dina berucap sambil berharap agar aku ikut dengannya
"Iya, tenang aja. Aku pasti ikut kok." Aku meyakinkan Dina.
"Lu emang terbaik, oh iya, gue duluan yah. ada yg harus aku urus di ruangan ibu Mira. Kita ketemu nanti di sekret." Dina pun melambaikan tangan dan berlalu membelah keramaian koridor sekolah.
Sifat pendiam inilah yang membuatku semakin terhanyut dalam goresan aksara yang terangkai dalam novel.Aku mulai menyukai novel sejak pertama kali ayah membelikanku ketika aku masih duduk di bangku SMP. Dan hal itu memotivasiku untuk mulai hobi menulis dan berupaya merangkai sajak puitis dalam setiap lembar yang kutulis, Hingga akhirnya membuatku menjadi sosok pengagum dalam diam terhadap goresan bait-bait aksara.
Setelah bel pulang sekolah berbunyi, Dina menghampiriku di kelas dan mengajakku untuk menghadiri komunitas sastra itu.
"Put ayo! kita berangkat gue udah gak sabar nih ingin mendengarkan materi tentang novel!" sambil menarik-narik tanganku dengan suara khas nya itu.
"Iya Din, sabar dulu sebentar jangan terburu-buru seperti itu,bersemangat sekali lu."
"lah iya dong."
Dengan wajah polosnya Dina melanjutkan ucapannya.
"Soalnya kan dia ikut komunitas sastra juga." Celetuknya tanpa sadar.
"Ehh." Dina menutup mulut, membatin dalam hati ' Aduh gue keceplosan!'.
"Hah, dia siapa Din?" Tanyaku iseng
"Ah nggak, tadi bercanda aja"
"Hmm ya sudah, ayo kita berangkat!"
Sebenarnya aku mengetahui bahwa Dina menyukai seseorang yang sama denganku. Tetapi, Sifatku yang pendiam membuat aku bungkam akan hal itu. Menulis menjadi satu kegiatan yang aku geluti karena, Dengan menulis bisa menjadi inspirasiku dalam aktivitas keseharianku. Saat ini aku telah merangkai sebuah cerita dari objek inspirasiku.Yaitu, 'Dirinya Yang Kukagumi'.
Seperti yang kupikirkan, seseorang yang dikatakan oleh Dina juga datang pada komunitas sastra itu.
"Put duduk di sana yuk!" Dina menunjuk ke kursi di dekat jendela, tepatnya di sebelah dia.
Aku yang baru ingin menolak, lagi-lagi mengurungkan niat.karena, Dina sudah menarik tanganku dan membawaku duduk di sana.
Kulihat Dina tersenyum malu-malu saat orang yang dikaguminya menoleh dan tersenyum ramah. Sedangkan aku, hanya menunduk sambil mendekap sebuah buku novel kesukaanku. Hatiku meronta dalam diam, Tak ingin melihat senyumnya untuk orang lain padahal diriku bukanlah siapa-siapa untuknya.
Waktu terus berlalu. Detik telah terlewati di setiap sesi materi pembahasan tentang kepenulisan novel yang sangat dinanti dengan rasa antusias kini telah berakhir. Aku dan Dina berjalan keluar ruangan lalu cowok itu pun menghampiri kami.
"Ehm permisi!" katanya pada kami berdua.
"Iya" kataku dan Dina secara bersamaan.
Hingga membuat situasi menjadi canggung. Aku tidak melanjutkan kata-kataku begitupun juga Dina, Lalu cowok itu menyodorkan ponselnya nya ke arah Dina sembari melontarkan ucapan yang membuatku merasakan denyut sakit di dada.
"Tolong masukin nomor kamu ke ponsel ini yah,"
"Buat apa?" Sahut dina seakan tidak mengerti situasi ini
"Ada yang ingin aku bicarakan."
"Oke." Sahut Dina langsung mengiyakan tanpa berpikir terlebih dahulu seperti biasa jika ada yang meminta nomor ponselnya.
Sejak hari di mana insiden pemberian nomor ponsel itu, Cowok itu dan Dina semakin dekat dan akrab. Ternyata mereka berdua pernah satu sekolah saat SMP dan kini kembali merajut rindu yang telah lama tak bersua.
Aku tak tahu bagaimana seharusnya diri ini bersikap biasa di hadapan mereka berdua di saat aku sendiri berusaha untuk menghapus jejak rasa dan angan terhadapnya. Karena, Aku sadar tidak bisa memaksanya untuk menyukaiku dan akupun tak ingin merusak kebahagiaan Dina sahabatku dengan melarangnya untuk tidak menyukai cowok itu.
Di sini aku hanyalah seorang pengagum rahasia yang takkan pernah bisa mengungkapkan segala rasa yang ada. Mungkin lebih baik aku tetap bungkam dan merelakan segalanya.
Aku mengambil secarik kertas dari tasku, lalu penaku mulai menari dengan riang di atas kertas.
"Merelakan bukan berarti menyerah, Tetapi kita menyadari bahwa ada hal yang tidak bisa dipaksakan dalam hal mencintai dalam diam."
Aku berusaha mengukir senyum untuk hari yang akan terlewati dengan perasaan yang baru.
Semua telah digariskan oleh sang pemilik semesta dan aku tidak ingin khawatir lagi tentang rasa ini. Akan memudar atau akan bertahan dalam kepedihan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar