Selasa, 29 Juni 2021

[Antologi Puisi Multilingual] Bebas





Abhiyoga

Oleh Rina Mutiara


Turun setitik

Teringat secarik

Rada nyelekit

Kana peujit


Rintik air terus menghujam kejam 

Jiwaku berteriak pilu

Terbalut kapas bekas

Meresap lalu hirap


Masih seputar sendu

Merindu pada insan semu

Pilu yang dulu beku

Membuat kekecewaan baru


Nyesek karasa

Nyulusup kana jero dada

Hujan nutupan cai mata

Girimis cinta


Bekasi, 24 Juni 2021



Sumerah

Oleh: Siti Azizah


Haleuang peuting ngusik hate anu simpe

Dalingdingna ngusap rasa nu teu daya

Ngarangkul, nyimbutan hate

Nu pinuh ku panggentra tur pamenta


Akara sang baskara menjelma purnama

Menghantar sendu pada pinta dan do'a

Mengharap, menghiba pada Maha Kuasa

Mendamba rasa, ikhlaskan jalan cerita


Duh Gusti, mung ka Anjeun abdi sumerah diri

Caang bulan nu nyakseni sagala rupi

Miharep pasrah tur merenah ieu ati

Kana sagala rupi nu jadi katangtuan Gusti


Peuting Jempling, 24 Juni 2021



Tanah

Oleh: Syifa Rp.


Tanah..

Coklat hitam warna ka

Ditapaki jejak-jejak panjang

Pun tapak pendek


Tanah..

Diguyuri hujan ka dak membalas

Ditumbuhi rumput dak ka hirau

Dicangkul dalam ka dak tersakiti


Tanah..

Andai ka pacak bicara

Andai ka nek berucap

Gampanglah ka nak membalas


Namun engka memberi faedah

Bagi manusia yang suka serakah

Kirak ka punya tubuh

Pasti sudah berdarah-darah


Lahan luasmu sering manusio ambik

Sekuayok ati tanpa diperbaiki

Tapi tetep engka baek

Demi hunian segale umat 


Sungailiat, 24 Juni 2021

[Antologi Puisi] Bangkit






Berani Bicara Itu Pilihan

Oleh Tiaraa & Ananda⁩ 


Similir angin berembus semakin kencang

Deru ombakpun tak kalah mengguncang

Sementara di darat, pohon-pohon perlindungan telah tumbang

Tiada yang bisa menyelamatkanmu, kecuali dirimu seorang


Bukankah hidup ini milik setiap insan

Kenapa diam dan bungkam jadi pilihan 

Akankah raga ini tunduk pada yang kuasa

Sedangkan atma menggebu ingin keluar dari jeratan adikara


Kita hidup dalam dunia penuh rekayasa

Jangan lemah oleh pemimpin banyak harta

Hidupmu perlu nahkoda

Bangkit dan kemudikan perahu asa


Terkadang, dalam hidup itu penuh dengan keterlukaan

Negeri kita kian berantakan

Barangkali keluarga juga tak karuan

Untuk itu, bangkitlah, terkadang menyelamatkan diri sendiri bukan bentuk keegoisan


Indonesia, 22 Juni 2021



Luka dan Bangkit

Oleh Rinam, dkk. 


Kala senja merangkak meninggalkan

Daun kering kerontang bertebaran

Saat itu pula dirimu menikam kejam

Menghantam bagai meriam


Suguhan janji yang tak ditepati

Tinggalkan lebam di lubuk hati

Retisalya menjelma pada bait cerita

Hirapkan asa nan tercipta dalam renjana


Terdiam dalam pekatnya malam

Menatap rinai hujan penuh kepiluan

Luka ini masih mengangga lebar

Ingin bangkit namun membatu


Seperti inikah harus merasakan sakit

Menelan hidup yang begitu pahit

Seolah ilusi

Namun nyata terjadi


Tapi, aku harus berdiri

Hentikan derita yang membelenggu hati

Kokohkan kembali rasa yang mati

Bangkitkan atma dengan Persistensi


Ruang Maya, 22 Juni 2021





Kembali Bertahan

Oleh 

Ahlul Aqdi & Abid Zakly Irawan



Duduk termenung di kesunyian malam

Tak ada bulan dan bintang menemani

Jiwa ini telah terhunus

Lalu tenggelam dalam lautan keputusasaan


Aku bagai camar yang kehilangan sarang

Bagai lebah yang kehilangan bunga

Aku patah di ranting-ranting malam

Aku tumpah di dalam gelap yang rekah


Dalam sepi malam yang bertaut-taut 

Dalam patah luluh lantah semangatku

Dalam hening isakku membasi

Tuhan tak pernah meninggalkan aku


Kubangkit kembali, demi asa yang kunanti

Ku 'kan terus bertahan, sederas apapun rintangannya

Beribu doa kupanjatkan

Semoga Tuhan memberkati langkahku


Nusantara, 22 Juni 2021

Sabtu, 26 Juni 2021

[Pentigraf] Bebas




Peringkat Pertama

Oleh Madu Kharisma


"Leee"

Terdengar suara asing beberapa kali di telingaku, sembari merapikan seragam biru putih ini yang agak sedikit berantakan. Aku melangkah mencari sumber suara tersebut, dengan memperhatikan setiap sudut suara tersebut semakin menggema di tiap tiap-tiap ruang dengan sedikit bergeming. Ah sial, ibuku sudah menunggu di garasi depan. Tepat saat kami tiba, suasana di sana benar-benar rusuh. Hiruk-pikuk terdengar sangat ricuh baik di antara segerombolan ibu-ibu yang membanggakan anak-anaknya maupun siswa-siswi yang menebak nebak siapa peringkat pertama.

Aku yang tengah menyiapkan fisik dan mentalku kini semakin berdegup-degup, kututup mataku sembari berdoa "Tuhan, kumohon pihak aku hari ini". Ibuku yang sambil melihat-lihat koridor sekolah sepertinya tidak begitu yakin pada anak satu satunya ini, tapi tentu saat pulang nanti ia sudah ganti profesi bak orator ahli. Sebagian kelas sudah diumumkan siapa yang akan menjadi sorotan hari ini hingga suasana sekolah semakin ricuh dengan pertentangan siswa dan siswi.

Aku dengan beberapa temanku menunggu di Aula dengan berharap akan mendapatkan kabar baik meskipun keadaannya tidak akan begitu baik. Bu Erlis selaku wali kelas tiba-tiba menghampiriku seraya menjabat tangan "Selamat ya, Nak, di semester ini kamu mendapat peringkat pertama". Dengan ekspresi melongo aku menatap Bu Erlis heran, "Ibu lagi bercanda, ya?". "Lho, ini serius, selamat ya kamu berhasil mendapat nilai terbaik disemester ini" Tatap bu erlis dengan tegas. Sesampai di rumah ibuku tak henti hentinya menceritakan peringkat ini kepada tetangga-tangganya dengan sangat bangga, lalu ayahku yang baru saja pulang kerja pun tiba tiba langsung memesan PS5. Tak lama kemudian suara ayam jantan berkokok.


Banyuwangi, 24 juni 2021


Bingung Sendiri

Oleh St. Nurjannah


Sepekan lalu, di ruangan yang remang dan aman, ya, itu dikamarku. Kugenggam ia dengan semestinya. Awalnya mulus, ia memberikan kemampuannya untukku, selalu mengikuti alurku. Ia-pun mampu memberikan cairan yang bisa memuaskanku, cairan yang memiliki warna lekat. 

Namun, tiba hari ini kurasa tidak ada lagi keserasian di antara kita. Padahal aku masih membutuhkannya, masih menginginkan kenikmatannya, keindahan cairan yang ia berikan.

Sungguh, dengan besarnya nafsuku, aku genggam ia dengan jari-jariku, kulayangkan ia ke atas dan ke bawah, tapi, ia tidak juga mengeluarkan cairan itu. Akhirnya aku memakai cara lain, kubuka tutup pena itu, dan kutiup ujung penyanggah tinta itu. Ya dia pena kesayanganku, yang kubeli sepekan lalu. Namun, tidak seperti biasanya tinta pena habis dengan cepat, padahal aku lebih sering mengetik, dibandingkan menulis. 


Tangerang, 24 Juni 2021



Bulat Merah

Oleh Agnesia


Seperti biasa, hari liburku kuhabiskan rebahan di kasur, dan menikmati makanan lezat buatan ibuku. Seharian di dalam kamar rasanya bosan, aku perlu hiburan. Akhirnya aku melangkahkan kakiku keluar rumah sembari berjalan-jalan santai. Bosan juga jika hanya sendirian, untung saja aku membawa handphone. Sama saja membosankan, tidak ada motif dari teman spesial. Sudahlah, aku kembali berjalan santai dan aku berhenti di sebuah warung untuk membeli makanan. Aku kembali melanjutkan jalan santaiku, sembari memakan makanan yang kubeli. 

Kuhentikan langkahku, karena aku melihat ada kerumunan orang di sebrang jalan. Aku pun menghampiri kerumanan orang tersebut. Tak dapat kulihat jelas apa yang mereka lihat, tapi aku mendengar apa yang mereka katakan, aku terkejut bukan main di saat salah satu orang mengatakan "Iya merah sekali". Pikiranku mulai ke mana-mana "Jangan-jangan darah orang kecelakaan", membuat seluruh tubuhku bergetar ngeri. Awalnya aku ingin beranjak pulang, tapi entah kenapa hatiku membiarkanku tetap di sini. Ini sungguh aneh tapi nyata.

Rasa penasaranku semakin menjadi-jadi. Dengan keringat dingin yang telah mengguyur seluruh tubuhku, kaki, dan tanganku juga gemetaran, akhirnya aku menerobos masuk melewati kerumunan orang. Setelah aku melihat, aku ingin berteriak dan menangis tapi malu dilihat banyak orang. Sungguh! aku tidak menyesal melihatnya, semangka itu benar-benar merah di dalamnya dan sepertinya sangat lezat untuk disantap.


Jember, 24 Juni 2021


[Antologi Puisi] Merah





Khimar Saksi Bisu


Desir angin menerpa tubuh rapuh

Menggenggam mawar lusuh

Tanpa ada suara tubuh ini mulai berjalan

Menghampiri siluet wanita yang rupawan


Lentik bulu matanya seindah mawar merah

Hitam pekat irisnya sepekat siluet senja

Khimar menjadi saksi akan keberaniannya

Melawan lara yang hadir untuknya


Sekejap mulut ini berbincang

"Mengagumimu dalam diam, menatapmu secara perlahan, memimpikanmu setiap malam

Bisakah aku bersanding denganmu dalam kehidupan

Melewati hara prakara bersamamu dengan senyuman, Nona?"


Ku beranikan langkah kaki mendekatinya,

Tidak untuk merayunya,

Namun, hati berbisik

Pantaskah mendekatinya tanpa ikatan?


Hasrat hati menyatukan sebuah rasa

Beratnya rindu tiada lagi tertahan dada

Berilah waktu sebelum pejamkan mata

Untuk memeluk darah daging sempat terpelihara


Perpaduan malam menghadirkan hujan

Membasahi kami dengan tatap penuh makna

Secercah cahaya binar terpantul dari iris Nona

Memberikan harapan pasti untukku


Akhir dari segala rasa yang terpendam, 

Kau sempatkan untuk menerima mawar lusuh ini.

Mata yang membulan seakan menandakan kau tersenyum manis di dalam balutan Khimar.



Ruang rindu, 22 Juni 2021


Oleh:

1. Siti Nurjannah

2. Naily Tazkiyyah Saputri

3. Sintia Ernanda N.

4. Ryania Kartika

5. MardhiahHayati

6. Madu Kharisma



Merah Putih


Merah darah bercucuran,

Di tengah medan juang,

Menghempaskan lawan,

Tegakkan kebenaran.


Menjadi saksi akan perjuangan

Tangisan menjadi irama kesedihan

Ketika semangat perjuangan diutamakan

Membela tanah air tumpah darah


Sewarna saga

Tangis memecah singgasana

Menumpah darah

Dari jiwa-jiwa tak bersalah


Mesiu mengudara

Bait pilu menggema

Negeriku, 

Begitu banyak penyaksian luka


Merah putih dikibarkan

Tanda puncak kemenangan

Dari lawan yang tak kenal kemanusiaan

Penjajah negeri tak bertuan


Pertumbuhan darah menjadi darah bagi air mata

Negeri tak bertuan belum di ambang ke jayaan

Dikarenakan banyak tangis malaikat kecil yang tak berdosa

Apakah ini pertanda bahwa kemerdekaan belum saatnya?


Ruang kesedihan, 22 juni 2021


Oleh: 

1. Rizka Munira

2. Setrio Hardinata

3. Alfiya Yasmin



Meruak Pilu


Suara angin saling menyapa,

Menuju ke hati begitu nestapa,

Helai daun enggan kelana,

Menembus raga tanpa rasa.


Terbungkus kesepian semakin dalam,

Tenggelam bersama lautan amarah,

Hembusan napas yang terbakar,

Putus asa menikmati luka.


Merintih senja semakin kelam,

Tersayat pilu luka kepedihan,

Mengejar bayang rangkai khayalan,

Atma menjerit bernada tragis.


Lesap yang sepi, 

Dia betandang berpisah mandiri,

Pergi terbuka tanpa sembunyi,

Menjauh, tanpa kembali


Bana sejarah yang semula sunyi kini berbunyi,

Terlintas, bebas, tanpa batas,

Krida yang lincah sumarah berhenti,

Akhirnya pancakara pada diri sendiri.


Galaba, perkenalan menjadi awal sejarahnya perpisahan

Dalam dalu yang meruak tanpa tertahan.


22 Juni 2021


Oleh: 

Muttaqina Imama 

Nur Syafiqah Binti Nahlil 

Mifta


Selasa, 22 Juni 2021

[Antologi Puisi] Kebebasan




Munajat Do'a

Oleh: Siti Azizah 


Sang hima tutupi buana

Pesona swastamita tak nampak di cakrawala

Pun kirana senja enggan sunggingkan tawa

Pada nabastala dan payoda nan beriring duka


Qobla adzan berkumandang

Bait do'a melangit lantang

Rasa dan asa melayang terbang

Pada ujung di titik juang


Teriring rindu yang tak lagi jadi milikku

Sebatas munajat pada Rabb-ku

Kuikhlaskan kata pamitmu

Yakini, terbaiklah takdir ini untukku


Biar cintaku tak seindah syair pujangga

Cukup lukaku tak memendam lara

Walau renjana tak berpihak pada kita

Tentang luka tenggelam di samudera rasa


Kini.. Pergi sudah cintaku

Terhantarkan segenap kerelaan rasaku

Dalam sujudku, pasrah atas takdir-Mu

Yakini dalam kalbu, yang terbaik dari sisi-Mu


Rona Senja, 03 Juni 2021



Rintihan Palestin

Oleh: Marzuqotun Najiyah


Aku tak berharap Kau mendarat sebagai Mufassir yang fasih ilmu-ilmu Tafsir


Aku tak berharap Kau mendarat sebagai biksu penyampai ajaran Sang Wisnu


Aku tak berharap Kau mendarat sebagai Pendeta yang melisankan doa-doa penuh Roja' dalam heningnya gereja


Aku tak berharap Kau mendarat sebagai jurnalis yang melaporkan berita-berita miris


Aku tak berharap Kau mendarat sebagai pegiat yang menyuguhkan kantong-kantong mayat


Aku tak berharap Kau mendarat sebagai tangan yang mengacungkan bendera perdamaian


Aku tak berharap Kau mendarat sebagai tenaga kesehatan yang menjahit sayatan-sayatan


Sungguh, Aku tak berharap

Aku,

Hanya berharap Kau mendarat sebagai manusia yang menjunjung tinggi rasa kemanusiaan.


Iya, Aku hanya berharap Kau mendarat atas nama kemanusiaan.


Brebes, 3 Juni 2021



Ketika Aku Membayangkan Kebebasan

Oleh: Ahlul Aqdi


Aku ingin seperti burung

Bukan karena cakrawala yang tak berujung


Aku ingin seperti ikan di laut lepas

Bukan karena lautnya yang maha luas


Tetapi aku ingin seperti puisiku

Bebas bermakna dan berwarna

Bebas berbait dan berima

Bebas mati atau abadi


Tapaktuan, 3 Juni 2021

Senin, 21 Juni 2021

[Antologi Puisi] Takdir



Gejolak Takdir


Oleh

ستي حجر

Herly⁩ 

Assyifanadia 

Novia 

MarzuqotunN


Desas desus kehidupan

Mengombang ambing diriku

Memojokkan hingga ketepi

Suratan yang sungguh menampar


Kala kelut membuat diri kusut

Karena kisah tak diusut

Membuat hati sudah susut

Hingga terayun seperti lumut


Gejolak hati ingin berontak

Masalah hidup terus menghampiri

Namun diri tidak bisa bertindak

Semua telah digaris bawahi


Kehidupan

Kematian

Segala hal yang masih diam dalam dugaan

Semoga sejalan dengan takdir yang telah ditetapkan Tuhan


Tuhan

berilah dadaku tetap lapang

atas takdir yang Engkau gariskan

sejak keazalian


Ruang Bahagia, 15 Juni 2021



Garis Takdir


Oleh

Fairuz

Nabila

Rosmalina

Sinta

Qonitia


Garis hidup telah di tuliskan

Sejak ruh di hembuskan dalam kandungan

Hingga nyawa di batas kerongkongan

Ikhtiar menjadi jalan


Takdir bak harmoni

Indah bila kau bisa memahaminya

Nikmati saja, mengeluh bukan jalan

Pun diam, itu hanya kesia-siaan


Kehidupan telah digariskan Yang Maha Kuasa

Ujian pun rintangan kan selalu ada

Ikhtiar dan sabar sebagai kunci kehidupan

Tuk takdir yang tergariskan


Kehidupan hanyalah fana

Hirapkan segala jejak-jejak asa

Terpatri untuk selalu meminta

Sebab kepadaNya kita bermula


Sederet nyawa melahirkan ruang asa

Tercukupi cinta dengan tatapan bahagia

Pun terkurangi realita dengan segala kecewa

Takdir, semesta tidak mempermainkan kita


Ruang Harap, 15 Juni 2021


Ikhlas

Oleh: Siti Azizah, dkk. 


Sarayu berbisik lirih

Kala swastamita alunkan melodi sedih

Iringi langkah nan tertatih

Kucoba ikhlas walau pedih


Kujalani sisa-sisa senja dengan liris

Menemui petang berkubang tangis

Malam tak lagi bisa ditolak

Berselimut mendung duka yang pekat


Pernah ingin menyerah bukan karena keadaan

Namun entah mengapa setiap langkahku menggapai mimpi terasa sangat melelahkan

Meskipun ada mereka yang selalu berjalan bersama

Perjuangan yang kuanggap telah usai, ternyata hanya selangkah dari seribu langkah menuju impian di singgasana raja


Teriring tirta netra basahi sajadah

Menjelma asa dalam untai do'a

Relakan ia yang sempat jadi semoga

Terima garis takdir pun lapang dada


Jalan Cerita, 15 Juni 2021

[Antologi Puisi Akrostik] Hewan




Lebah

Oleh: Ade Rifani


 Lambang kasih seorang putri pada raja; jika cinta tak harus dalam ruang rasa yang sama. Berbeda dalam lautan api asmara, tidak mematahkan tekad untuk terus melangitkan doa. "Tuhan tidak pernah tidur," cercanya. 


 Elegi menghiasi banyak aksi yang mulai mengikis seri dalam pipi. Menghadirkan perih pada ujung sanubari penuh duri. Perihal prasangka tak berarti mulai menghampiri.


Balutan tawa terhirapkan harapan tanpa kepastian. Melenggangkan ingatan dalam ruang kenangan yang tersimpan. Di ujung bilik kedap suara yang meredam banyak tangis penuh tragis.


Asmaraloka terajut benang-benang kasih suci yang terikat oleh janji. Sepasang anak manusia berikrar menjadi pasangan kekasih. Untuk bahagia; kini hingga nanti.


Habisnya masa eliminasikan elegi, berbaur dalam samudera imaji. Terlanjur cinta membuat hati lupa diri. Perihal rasa tak dihargai, pun hasrat ingin memiliki.


Bandung, 17 Juni 2021


Siput

Oleh: Shajar


Segala harap,

Ingin kutuangkan tanpa paksa

Pada setiap bait aksara

Untuk sekadar renungan di masa mendatang

Tanpa lagi harus bertanya-tanya mengapa?



Sigli, 17 Juni 2021


Kelinci

Oleh: Qonitia Lutfiah 


Kerap kali pilu itu kembali menghampiri hati yang telah lama menahan untuk tak mengingatnya lagi

Elegi seakan melompat-lompat kesana kemari saban hari tanpa permisi layaknya kelinci

Lambat laun rasa itu memudar hingga dapat menerbitkan setitik harsa yang selalu kucari

Ironi hirap dalam langitan usaha dan doa yang tak pernah putus dipanjatkan tanpa henti

Nanti akan kupastikan bahwa itu cukup menjadi pembelajaran di masa yang sulit untuk kujabarkan

Cinta yang sesungguhnya tak pernah menyakitkan bagi siapapun yang selalu menerima apa adanya

Ingin menerima apapun kekurangannya dan selalu menjaga dalam bait-bait doa 


Lampung, 17 Juni 2021

[Antologi Puisi] Utuh tapi Rapuh



Terjebak Rasa 


Sejuta aksara dan tanda bacaku mati

Tenggelam dalam harap yang sekarat

Dengan belati yang hampir menggores nadi

Haruskah aku akhiri?


Kaki melangkah yang tak kenal arah

Satu demi satu segala asa runtuh

Berdiri atas nama cinta yang semu

Kini rindu berujung pilu


Berwaktu waktu aku mengasuh rasa 

Memendam cinta yang tak biasa 

Dan aku bertanya pada diamnya semesta 

Adakah hati yang tak bisa luka ?


Andai semua berlalu tanpa ada rasa yang semu

Andai kenangan melipir menjauh

Saat ini aku takkan terjebak rasa yang semu

Menggenggam rasa tak berujung untukmu


Ragaku utuh ,hatiku rapuh 

Cinta membuatku jatuh 

Seluruh atma menjebak diri 

Atas nama rasa segalanya pergi


Tuhan ajari aku untuk memahami

Cinta tak melulu berujung memiliki

Bagaimana cara mengiklaskan

Tanpa menaruh rasa berkepanjangan


15 Juni 2021


Oleh 

1. Sintia

2. Andi

3. Mifta

4. Alfiya

5. Murlin Andaka

6. Ramlan

 


Rindu yang Utuh dengan Segala Kerapuhannya


Pagi ini aku termenung menatap ilalang

Angin dan gersangnya menyelimuti keindahan

Sementara aku masih bersama bayang-bayang

Yang menitipkan hal berupa kerinduan


Kerinduan yang rapuh berbalut kenangan

Yang menghangat bersama sisa rintik semalam

Ahhhh, ini benar membinggungkan

Apa rindu ku selama ini tak tersampaikan?


Hati ini tak lagi utuh

Setelah penghianatan yang menjadikannya runtuh

Bualanmu tentang indahnya Jogja tak lagi tersimpan sebagai bentuk cinta

Juga kisahmu yang menyakitkan bersamanya


Kau menyuguhkan ruang bernama patah hati 

Menjebaknya diantara buaian semesta 

Yang tersisa hanya kepulangan elegi 

Bak patahku yang menjadi bahagiamu


Tidak semua keruntuhan adalah kekacauan

Terkadang ia tersimpan sebagai kebaikan

Dan airmata adalah ornamen terkuat yang tersusun dari beberapa rasa

Tentang kita yang pernah utuh dan berakhir rapuh


Lebih baik aku terluka ketika tanganku merangkul rasa malu 

Daripada aku membantu tanpa pernah mencoba melawan rasa kaku

Lebih baik aku terhina ketika wajahku teriris badik masa lalu

Daripada aku terbuang tanpa pernah mencoba melangkahi jurang rindu


Ruang Hampa, 15 Juni 2021


Oleh

1. Mardhiah Hayati

2. Zakiyatul Arifah

3. Rizqi Tarinda Putri

4. Glady Anliza Syaharani

5. Ira Rianti


Retak


Terbayang akan angan

Terbuai oleh ayunan kata

Hanya dapat meneguhkan 

Menguatkan qalbu yang tersentak


Maaf,

Suatu ruang menentang realitas,

Menyisipkan bait-bait derai tanpa batas,

Redum yang selalu saja terjepit diam-diam,

Kini telah menggebu tanpa salam.


Rupanya atma kian memudar

Sendu bersama senja

Tak sedikit pun berfikir

Membawa sederet kisah penuh luka


Menyelinap sehembus angin

Menerpa relung mata batin

Menimbulkan pedih

Menumbuhkan sebutir peluh



Aku tidak ingin lagi peduli,

bekas-bekas nya terus saja kau gali.

Mungkinkah kisah arkais yang kau ciptakan sendiri



Atau kesalahan yang kau tangisi?

Alunan nya menyibak 

Menumbuhkan retakan

Membuat relung berhamburan


Oleh

Alfarisi

Abdul Rozaq

Muttaqina Imama

Siti Soehah

Rida Nuriyah

Imelda Trisna Rahayu

[Antologi Puisi] Warna




Tritanomali


Oleh Yurna Jingga Sitara


Menguak dua garis bulu matanya

memangsa langit

sketsa tumpukan titik mamayung

mewarna bahasa

meranum di pucuk ingin


Kata mereka ia bagian dari ajaib 

dari sejuta populasi manusia 

pernah, 

dilukisnya rerumput menjadi biru


Sayang, 

semua seteru

di manapun tak ia temukan biru


Irisnya terhiris

pupilnya terjerembap

tengadah retinanya


Ah, 

Tubuhtubuh ini padang

samudera bak negeri sendang

nganga alam tak sampai terserap syaraf 


Ia hanya pelukis api

bagi tubuhtubuh ilalang

binarnya sunyi

tak terjual di pasarpasar


Ini pengaduan yang sesat

tak ada obat

bolabola matanya berakrobat


Jika aku menjadi cermin

Inginku memantul cahaya baginya,

jika aku menjadi kuntum

inginku, hanyut dalam persepsinya


Benteng heningku//17 Juni 2021



Memori Kelabu

Oleh Muttaqina Imama


Ku ingat kamu si holakalus yang kuterka,

Afsun yang melekat erat dalam Atma. 

Sebutku candramawa, 

Si pembuat bahagia sederhana.


Sedari kerap ku anggap kamu biru, 

Si pencipta senyum tanpa ragu. 

Ternyata itu bukan asli dari siapa kamu,

Yang tetiba menjadi kelabu,

Yang begitu membingungkan ku.


Tolong,

Jangan lagi kenalkan aku dengan harapan,

bukan pula libreto,

Yang dengan mudah kau anggap sebagai seloroh,

Sebab, ini bukan menyangkut impresi,

Tapi disuasi hati.


Alap kataku!

Kau berdayuh, berkata kau telah dihianati;

Dari kisah yang kau hancurkan sendiri.

Tak ada rasa ku ingin membenci, hanya kecewa yang mengakhiri.


Iya benar, saya hanya bintang yang telah dilalap gelapnya malam oleh kamu yang tak pernah benar-benar mengharapkan pertemuan.


Shin 2021



Lukisan Wajahmu

Oleh Muhammad Fauzan Cahyoko 


/1/

Lukisan wajahmu yang miring setelah diluruskan bukan lagi topik seputar mengapa harus paku itu yang menjadi gantungan padahal miringnya sudah berulang-ulang membuat kekhusyukan penikmat menjadi terganggu sebab warna dari canggung, senang, dan sipumu menjadi sulit terbaca. 


/2/

Meskipun begitu, aku tetap memilih paku itu karena tanganmulah yang memutuskan seberapa pantas untuk dipalu hingga menjadi gantungan lukisan yang entah mengapa aku bahagia melihat ekspresimu, semua warna ada di lukisan wajahmu. 


/3/

Dan ketika kau menyuruhku menghapus tinta di kanvas yang kulukiskan wajahmu, aku terpuruk. Pagi, siang, dan malamku terlihat sia-sia seperti pelukis yang bimbang hendak menggradasi warna mana lagi agar terlihat pandai mengeksekusi. 


/4/

Terpaksa, aku cabut paku yang kau putuskan waktu itu. Lalu mengambil lukisan wajahmu yang sudah lelah kulukis indah-indah. Lantas melunturkannya dengan air mata. Kuupayakan penuh agar harapanmu tentang akhirnya hubungan kita seperti pelukis yang buta warna. 


Yogyakarta, 17 Juni 2021

Senin, 14 Juni 2021

[Quotes] Korupsi

 


Di era reformasi, setiap regulasi ditundukkan oleh rayuan korupsi hingga sudah menjadi hobi. 

Aski~


Di tanah lapang menjanjikan kemakmuran.

Di meja sidang menuhankan kepentingan.

Terima kasih tuan dan puan, telah mewakilkan kesejahteraan rakyat pinggiran.

Muhamad Zaenudin~


Taktik penuh janji, nyatanya jelmaan tikus-tikus berdasi. Harta kau dominasi rakyat kau apatisi.

Alfiya Yasmin~


[Puisi] Tentang Juni




Hujan di Kadung Rindu 


Langit begitu kelabu 

Saat rindu mulai menderu 

Awan menjadi bisu 

Saat hati dilanda rindu


Berderu luapan samudra

Menikam erat bersimpuh duka

Rindu yang kian mengakar

Biar tenggelam bersama angan


Kadung rindu sudah menjadi hujan 

Tiap tiap juni adalah kenang 

Kadung rindu sudah menjadi hujan 

Tiap tiap juni adalah mengingat kehilangan


Juniku menjadi saksi

Tentangmu yang pernah singgah di hati

Tersusun rapi dalam memori

Hingga waktu mempertemukannya kembali


Bagaimanakah aku menuankan rindu yang dulu sempat mendekat

Langkahku yang lunglai sedangkan larimu teramat cepat

Kurangku tak terisi lagi dengan lebihmu yang hebat

Namun ketahuilah, maafku menyambutmu kembali dalam pelukan erat


Salam air mata di bulan juni

Untuk kamu yang kembali menjadi misteri

Ada tapi tidak untuk dimiliki

Menghilang untuk berharap kembali


08 Juni, 2021


Oleh: 

1. Naily Tazkiyyah S

2. Mardhiah Hayati

3. Andi Rusmana 

4. Yulia

5. Muhamad Zaenudin



Juni Kembali


Juniku yang kelam

Rintikmu kembali datang bertandang

Riak gemercik yang menyibak memori

Hadirkan sunyi; meniti sepi


Aku rindu pada hujan yang menahan kita pulang waktu itu

Dengan jaket basahku, kurangkul tubuhmu

yang semakin tidak karuan membisu 

Di depan ruko, kau berjingkat sebab aku membuatmu beku


Dan masih kukenang lagi memori bisu tentangmu kala itu.

Hanya hening saat kita tak berjarak.

Hanya diam yang menemani saat kita mendekat

Kita membeku, tapi hati ku menggebu.


Rintik sendu

Aku merindu

pada hujan yang menikam getir

Memberi kenangan, pada kisah yang tak pernah lekang


merawat luka-luka lama

mengemas tabah sedemikian rupa

di musim hujan

di tepi sunyi.


Dan ingatlah bulan ini

sampai juni mengingatkan untuk kembali,

maka kembalilah

ada hujan yang harus kau redakan

juga kata perpisahan yang semestinya kita lupakan



Bumi, 8 Juni 2021


Oleh: 

1. Nia Rahmawati

2. Eliyah

3. Sofia Dharmayanti

4. A. Firmansyah

5. Erma Suryani

6.Muhammad Fauzan Cahyoko



Alunan Rindu pada Juni


Juni berlabuh

Harsa pun luruh

begitu pula rindu

nan sedang berlabuh


Alunan lubuk mendayu

Dikibas serayu

Pada Juni kini berpangku

Melankolis berirama merdu


Percik hujan lebat diperaduan malam

Juni membuatku mengenang pada nuansa alam

Dengan tatapan indah membekam

dan menaksirkan lebih dalam


Rabas asa terukir di dada

Kandas oleh afeksi menggelora

Mengelabui akal tanpa jeda

Dalih lenyap alih redut atma


Larut dibuai amor nestapa

Lupa ranah tempat bermukim senja

Lupa tawang ajang pereka segalanya


Untuk menghiasi bulanmu aku tak lihai berkata syahdu

puisiku juga tak ampuh untuk membuatmu luluh

namun impiku mengantar untuk menarasikan ini tanpa meneluh


08 Juni 2021


Oleh: 

1. Aski aisyah

2. Mifta

3. Madu Kharisma

4. Nazario

5. Septia