Sabtu, 26 Juni 2021

[Antologi Puisi] Merah





Khimar Saksi Bisu


Desir angin menerpa tubuh rapuh

Menggenggam mawar lusuh

Tanpa ada suara tubuh ini mulai berjalan

Menghampiri siluet wanita yang rupawan


Lentik bulu matanya seindah mawar merah

Hitam pekat irisnya sepekat siluet senja

Khimar menjadi saksi akan keberaniannya

Melawan lara yang hadir untuknya


Sekejap mulut ini berbincang

"Mengagumimu dalam diam, menatapmu secara perlahan, memimpikanmu setiap malam

Bisakah aku bersanding denganmu dalam kehidupan

Melewati hara prakara bersamamu dengan senyuman, Nona?"


Ku beranikan langkah kaki mendekatinya,

Tidak untuk merayunya,

Namun, hati berbisik

Pantaskah mendekatinya tanpa ikatan?


Hasrat hati menyatukan sebuah rasa

Beratnya rindu tiada lagi tertahan dada

Berilah waktu sebelum pejamkan mata

Untuk memeluk darah daging sempat terpelihara


Perpaduan malam menghadirkan hujan

Membasahi kami dengan tatap penuh makna

Secercah cahaya binar terpantul dari iris Nona

Memberikan harapan pasti untukku


Akhir dari segala rasa yang terpendam, 

Kau sempatkan untuk menerima mawar lusuh ini.

Mata yang membulan seakan menandakan kau tersenyum manis di dalam balutan Khimar.



Ruang rindu, 22 Juni 2021


Oleh:

1. Siti Nurjannah

2. Naily Tazkiyyah Saputri

3. Sintia Ernanda N.

4. Ryania Kartika

5. MardhiahHayati

6. Madu Kharisma



Merah Putih


Merah darah bercucuran,

Di tengah medan juang,

Menghempaskan lawan,

Tegakkan kebenaran.


Menjadi saksi akan perjuangan

Tangisan menjadi irama kesedihan

Ketika semangat perjuangan diutamakan

Membela tanah air tumpah darah


Sewarna saga

Tangis memecah singgasana

Menumpah darah

Dari jiwa-jiwa tak bersalah


Mesiu mengudara

Bait pilu menggema

Negeriku, 

Begitu banyak penyaksian luka


Merah putih dikibarkan

Tanda puncak kemenangan

Dari lawan yang tak kenal kemanusiaan

Penjajah negeri tak bertuan


Pertumbuhan darah menjadi darah bagi air mata

Negeri tak bertuan belum di ambang ke jayaan

Dikarenakan banyak tangis malaikat kecil yang tak berdosa

Apakah ini pertanda bahwa kemerdekaan belum saatnya?


Ruang kesedihan, 22 juni 2021


Oleh: 

1. Rizka Munira

2. Setrio Hardinata

3. Alfiya Yasmin



Meruak Pilu


Suara angin saling menyapa,

Menuju ke hati begitu nestapa,

Helai daun enggan kelana,

Menembus raga tanpa rasa.


Terbungkus kesepian semakin dalam,

Tenggelam bersama lautan amarah,

Hembusan napas yang terbakar,

Putus asa menikmati luka.


Merintih senja semakin kelam,

Tersayat pilu luka kepedihan,

Mengejar bayang rangkai khayalan,

Atma menjerit bernada tragis.


Lesap yang sepi, 

Dia betandang berpisah mandiri,

Pergi terbuka tanpa sembunyi,

Menjauh, tanpa kembali


Bana sejarah yang semula sunyi kini berbunyi,

Terlintas, bebas, tanpa batas,

Krida yang lincah sumarah berhenti,

Akhirnya pancakara pada diri sendiri.


Galaba, perkenalan menjadi awal sejarahnya perpisahan

Dalam dalu yang meruak tanpa tertahan.


22 Juni 2021


Oleh: 

Muttaqina Imama 

Nur Syafiqah Binti Nahlil 

Mifta


Tidak ada komentar:

Posting Komentar