Tritanomali
Oleh Yurna Jingga Sitara
Menguak dua garis bulu matanya
memangsa langit
sketsa tumpukan titik mamayung
mewarna bahasa
meranum di pucuk ingin
Kata mereka ia bagian dari ajaib
dari sejuta populasi manusia
pernah,
dilukisnya rerumput menjadi biru
Sayang,
semua seteru
di manapun tak ia temukan biru
Irisnya terhiris
pupilnya terjerembap
tengadah retinanya
Ah,
Tubuhtubuh ini padang
samudera bak negeri sendang
nganga alam tak sampai terserap syaraf
Ia hanya pelukis api
bagi tubuhtubuh ilalang
binarnya sunyi
tak terjual di pasarpasar
Ini pengaduan yang sesat
tak ada obat
bolabola matanya berakrobat
Jika aku menjadi cermin
Inginku memantul cahaya baginya,
jika aku menjadi kuntum
inginku, hanyut dalam persepsinya
Benteng heningku//17 Juni 2021
Memori Kelabu
Oleh Muttaqina Imama
Ku ingat kamu si holakalus yang kuterka,
Afsun yang melekat erat dalam Atma.
Sebutku candramawa,
Si pembuat bahagia sederhana.
Sedari kerap ku anggap kamu biru,
Si pencipta senyum tanpa ragu.
Ternyata itu bukan asli dari siapa kamu,
Yang tetiba menjadi kelabu,
Yang begitu membingungkan ku.
Tolong,
Jangan lagi kenalkan aku dengan harapan,
bukan pula libreto,
Yang dengan mudah kau anggap sebagai seloroh,
Sebab, ini bukan menyangkut impresi,
Tapi disuasi hati.
Alap kataku!
Kau berdayuh, berkata kau telah dihianati;
Dari kisah yang kau hancurkan sendiri.
Tak ada rasa ku ingin membenci, hanya kecewa yang mengakhiri.
Iya benar, saya hanya bintang yang telah dilalap gelapnya malam oleh kamu yang tak pernah benar-benar mengharapkan pertemuan.
Shin 2021
Lukisan Wajahmu
Oleh Muhammad Fauzan Cahyoko
/1/
Lukisan wajahmu yang miring setelah diluruskan bukan lagi topik seputar mengapa harus paku itu yang menjadi gantungan padahal miringnya sudah berulang-ulang membuat kekhusyukan penikmat menjadi terganggu sebab warna dari canggung, senang, dan sipumu menjadi sulit terbaca.
/2/
Meskipun begitu, aku tetap memilih paku itu karena tanganmulah yang memutuskan seberapa pantas untuk dipalu hingga menjadi gantungan lukisan yang entah mengapa aku bahagia melihat ekspresimu, semua warna ada di lukisan wajahmu.
/3/
Dan ketika kau menyuruhku menghapus tinta di kanvas yang kulukiskan wajahmu, aku terpuruk. Pagi, siang, dan malamku terlihat sia-sia seperti pelukis yang bimbang hendak menggradasi warna mana lagi agar terlihat pandai mengeksekusi.
/4/
Terpaksa, aku cabut paku yang kau putuskan waktu itu. Lalu mengambil lukisan wajahmu yang sudah lelah kulukis indah-indah. Lantas melunturkannya dengan air mata. Kuupayakan penuh agar harapanmu tentang akhirnya hubungan kita seperti pelukis yang buta warna.
Yogyakarta, 17 Juni 2021
Tidak ada komentar:
Posting Komentar