Senin, 21 Juni 2021

[Antologi Puisi] Warna




Tritanomali


Oleh Yurna Jingga Sitara


Menguak dua garis bulu matanya

memangsa langit

sketsa tumpukan titik mamayung

mewarna bahasa

meranum di pucuk ingin


Kata mereka ia bagian dari ajaib 

dari sejuta populasi manusia 

pernah, 

dilukisnya rerumput menjadi biru


Sayang, 

semua seteru

di manapun tak ia temukan biru


Irisnya terhiris

pupilnya terjerembap

tengadah retinanya


Ah, 

Tubuhtubuh ini padang

samudera bak negeri sendang

nganga alam tak sampai terserap syaraf 


Ia hanya pelukis api

bagi tubuhtubuh ilalang

binarnya sunyi

tak terjual di pasarpasar


Ini pengaduan yang sesat

tak ada obat

bolabola matanya berakrobat


Jika aku menjadi cermin

Inginku memantul cahaya baginya,

jika aku menjadi kuntum

inginku, hanyut dalam persepsinya


Benteng heningku//17 Juni 2021



Memori Kelabu

Oleh Muttaqina Imama


Ku ingat kamu si holakalus yang kuterka,

Afsun yang melekat erat dalam Atma. 

Sebutku candramawa, 

Si pembuat bahagia sederhana.


Sedari kerap ku anggap kamu biru, 

Si pencipta senyum tanpa ragu. 

Ternyata itu bukan asli dari siapa kamu,

Yang tetiba menjadi kelabu,

Yang begitu membingungkan ku.


Tolong,

Jangan lagi kenalkan aku dengan harapan,

bukan pula libreto,

Yang dengan mudah kau anggap sebagai seloroh,

Sebab, ini bukan menyangkut impresi,

Tapi disuasi hati.


Alap kataku!

Kau berdayuh, berkata kau telah dihianati;

Dari kisah yang kau hancurkan sendiri.

Tak ada rasa ku ingin membenci, hanya kecewa yang mengakhiri.


Iya benar, saya hanya bintang yang telah dilalap gelapnya malam oleh kamu yang tak pernah benar-benar mengharapkan pertemuan.


Shin 2021



Lukisan Wajahmu

Oleh Muhammad Fauzan Cahyoko 


/1/

Lukisan wajahmu yang miring setelah diluruskan bukan lagi topik seputar mengapa harus paku itu yang menjadi gantungan padahal miringnya sudah berulang-ulang membuat kekhusyukan penikmat menjadi terganggu sebab warna dari canggung, senang, dan sipumu menjadi sulit terbaca. 


/2/

Meskipun begitu, aku tetap memilih paku itu karena tanganmulah yang memutuskan seberapa pantas untuk dipalu hingga menjadi gantungan lukisan yang entah mengapa aku bahagia melihat ekspresimu, semua warna ada di lukisan wajahmu. 


/3/

Dan ketika kau menyuruhku menghapus tinta di kanvas yang kulukiskan wajahmu, aku terpuruk. Pagi, siang, dan malamku terlihat sia-sia seperti pelukis yang bimbang hendak menggradasi warna mana lagi agar terlihat pandai mengeksekusi. 


/4/

Terpaksa, aku cabut paku yang kau putuskan waktu itu. Lalu mengambil lukisan wajahmu yang sudah lelah kulukis indah-indah. Lantas melunturkannya dengan air mata. Kuupayakan penuh agar harapanmu tentang akhirnya hubungan kita seperti pelukis yang buta warna. 


Yogyakarta, 17 Juni 2021

Tidak ada komentar:

Posting Komentar