Selasa, 31 Agustus 2021

[Puisi] Pembohong Ulung | Sengaja | Arti Damai


Pembohong Ulung

Ananda Mella


gerimis di luar jendela terus mengusik

embusan angin ikut menelisik

sahut-sahutan petir dan guntur membuatnya semakin berisik

jeritan dalam palung tak henti-hentinya memaksaku meringkuk di pojok bilik


aku muak dengan semua pentas drama di dunia ini

semua ramai tertawa sana-sini

sementara aku dibuatnya tenggelam dalam peranku sendiri

seseorang yang dipaksa dewasa dengan keterlukaan hati


o, tuhan, inikah alasan kau ciptakan aku?

menjadi manusia lugu

yang tersenyum lebar meski hatinya haru biru

peran ini tidak adil bagiku


o, ayah dan ibu, seperti inikah didikanmu padaku?

aku selalu dipaksa kuat dan tak kalian izinkan aku menangis

iya, inilah aku sekarang

seseorang yang bertopeng tanpa topeng


o, semesta! jangan salahkan aku jika aku menjelma pembohong ulung

bukankah kau dan segala skenariomu yang membuatku begini?

aku benci keramaian, sebab aku selalu dalam ruang kesepian

aku benci senyuman, sebab aku selalu dibasahi dengan tangisan


apa kau tahu, berapa garis yang sudah kugoreskan di lengan kiriku?

apa kau tahu, seberapa banyak pil yang sudah melewati tenggorokanku?

kau tak pernah mau tahu, kau tak peduli, siapapun tak peduli

itulah mengapa, bagiku mati adalah jalan paling tenang, karena tak kan ada yang mencariku, apalagi menggangguku


Bogor, 21.08.20


Sengaja

Muhammad Fauzan Cahyoko


Kau sengajakan dirimu hanyut

Di tetes-tetes air mata

Sambil terus meracik suasana

Agar yang kau tunjukkan 

Laku dipuji orang


Kau sengajakan dirimu karam

Atas sayatan-sayatan pisau

Ngilu menjalar kepalang

Pedih mendidihkan mata

Sebab di sela-sela rongga hatimu

Ada harapan yang terlanjur busuk


Kau sengajakan dirimu tersakat

Di ruang maha sunyi

Perihal lukamu yang mengkarat

Tebak, siapa yang kau bohongi?


Yogyakarta, 20 Agustus 2021


Arti Damai

A. Firmansyah


Laron mengigau padaku

Tak lama datang seekor burung 

kecil ikut nimbrung

“Selama ini, apakah kau paham 

arti damai?” katanya. 

Hati memotong percakapan

Sedikit mengacungkan tangan

Ia pun menanggapi: diam. 


Voice note, 20 Agustus 2021

[Prosa] Maharddhika

https://m.tribunnews.com/amp/seleb/2021/08/17/chord-dan-lirik-lagu-bendera-cokelat-kunci-dari-c-merah-putih-teruslah-kau-berkibar

Tertanda pukul tujuh lewat lima, Kala itu aku susuri adimarga. Tercengang aku ternganga, atau mungkin sebuah rasa bangga. Ribuan kain tertancap menari kibaskan sayapnya. Nampak sang merah putih terajut dalam dada juga terselubung aroma darah disana. 

Ratusan hari, ribuan jam dan milyaran detik seakan menjadi saksi perjuangan pahlawan. Darah-darah mengalir di tanah Indonesia, kekejaman, penindasan menjadi motivasi untuk merdeka. Tersenyumlah, wahai Indonesia! Sang merah putih telah berkibar, senyuman manis akan melebar. 

Kini, kita telah menyaksikan pusaka kebanggaan Indonesia telah berkibar. Sang Merah Putih itu menari-nari dipelayaran langit, menebar berita kemenangan. Seakan bersorak "Merdeka telah menjadi milik kita". Kedamaian nan ketentraman telah menanti di gerbang kemenangan. Harap-harap, tak akan ada lagi kekejaman dan penindasan.

Berkat Bung karno dengan segala strategi pintarnya, bung tomo dengan semangatnya, pun dengan sultan syahrir yang penuh tekad kuatnya. Walaupun kini, dengungan sirine bersahutan dengan kibasan bendera, bukan berarti kita tidak memaknai hari merdeka. Hanya saja, kini dilakukan dengan cara yang berbeda. Terbalut kain dimuka, agar kita tetap terjaga.

Saat negeri dijamah pandemi. Tenaga kesehatan berperang, 

Muda-mudi tengah berjuang, pemerintah berusaha menghadang dengan tameng bersilang. Tapi, antusias kemerdekaan harus tetap mengerang. Masker dikekang, agar pandemi segera hilang. 

Beribu-ribu ucap syukur dan terima kasih kepada para pahlawan dan rakyat yang berjuang, tentunya atas campur tangan Tuhan. Yang perjuangannya dihujani dengan darah dan air mata. Yang harus rela gugur di medan peperangan. Hari ini, semua terbalas dengan kata Merdeka.


Ruang maya, 19 Agustus 2021


Anggota :

- Rina Mutiara

- Siti Zulfa Fauziah

- Andi Rusmana

Selasa, 17 Agustus 2021

[Antologi Puisi] Pulang




Rumah Berpulang

Oleh: Zuraida & Wahdania 


Gerimis membasahi setiap sudut halaman 

Ranting pohon kecoklatan bergoyang mengikuti irama angin 

Sejuk badan, hampa tatapan 

Meringkuh di balik selimut kumuh


Tatapan leu bertambah syahdu 

Memori kembali pada pertemuan di balik hujan 

Ku tilik dan mencoba memahami 

Apa yang telah terjadi 


Kau adalah rumah Kepulanganku 

kali ini tidak tertuju pada rindu 

Kepulangan ku kali ini hanya tertuju pada satu titik persinggahan rumah


Senyummu, sedihmu, gundah gulanamu itu adalah rumahku 

Aku suka semua yang ada pada rumahmu Kepulangan ku kali ini berbeda

Kepulangan ku kali ini hanya tertuju pada tatapan mu




Virtual, 10 Agustus 2021



Pulang

Oleh: Nurhalisa & Fahrul Zen



Lampu jalanan menyaksikan langkahku

Pohon trotoar menyaksikan arahku 

Aspal jalanan menyaksikan sedihku

Aku ke mana-mana


Sudah terlalu jauh aku pergi

Berkelana menjumpa banyak wajah

Berkenalan dengan banyak karakter

Namun, tak kutemui yang sepertimu


Sungguh, ada yang sempurna 

Namun, tak sama sepertimu

Sungguh, yang jauh lebih indah

Namun, tak sama sepertimu


Aku salah, 

Kupikir dengan pergi dapat lebih mudah melupakanmu

Nyatanya jauh darimu membuatku selalu ingin kembali


Andai bisa ku putar waktu

Aku ingin kembali menetap

Menjadikan mu rumah


Ruang chat, 10 Agustus 2021



Memori Usangku Tentang Rumah

Oleh: 

 1. Romi Novendra

 2. Eka

 3. Cia Li

 4. Abdul Rozaq

5. Ivo Oxxantara R.P 



Sudah lelah kaki melangkah

Banyak tempat telahku jadikan persinggahan

Enigma mulai menenggelamkanku dalam

Hingga sering diriku terlupa, lupa akan arti sebuah rumah


Bangunan itu memang tampak tua dalam ingatan

Bahkan gentengnya pun banyak tak utuh lagi

Tetapi, hangat kecerian itu tak pernah luntur dalam ingatan

Wangi kopi yang sering berterbangan di pagi hari


Bias yang sering malu-malu mengintip di jendela kamarku

Membuatku di paksa kembali ke dalam kenangan manis di rumah

Rumah yang sederhana, penuh kehangatan

Menyimpan berjuta nostalgia yang berwarna


Saat ku paksa kepala tua ini mengingat dia

Aku langsung terhempas kedalam kenyataan yang pahit

Dia yang begitu berharga kini telah pergi

Jiwanya damai bersandar di ujung langit, dan kekal abadi


Yang tersisa hanya beberapa memori usang

Kolase yang menyimpan sosok rumahku yang sebenarnya

Dia ibu dan juga negaraku tercinta 

Mungkin memang tubuh ini sudah tua di makan waktu



Labirin, 10 Agustus 2021

[Antologi Prosa] Harapan





Secangkir Teh dan Baris Aksara

Oleh:

1. Ivo Oxxantara R. P

2. Jefrin

3. Jose D. Correia

4. Alfiya: 

5. Noviyanti

6. Alwanir


Seteguk Teh Hangat jadi teman dipagi hari, hembusan angin jadi pelengkap dikala pikiran masih tak menentu. Kufikir jam telah memanggilku untuk kembali bersapa dengan rekan dan dosen "Ah sial, waktu terasa cepat" dalam hati bergumam. "Ayo kita lanjutkan kembali rutinitas membosankan ini".


Aku mulai berbisik di telingamu pelan "Hai mentari mulai memancarkan sinarnya" namun kau tetap diam, akupun berkata "Mulai menikmati manisnya teh di pagi hari."


Ku mulai beranjak memikirkan sebuah aksara yang rumpang. Menikmati secangkir teh mu yang membuat pikiranku jernih "Hmm, nikmatnya teh ini". Karenanya, pikiranku menjadi santai dan membuatku menemukan ide dalam otak. Aku bergegas menulis apa saja yang ada di kepala.


Baris demi baris katapun tercipta menjadi sebuah kalimat yang begitu rumit untuk di mengerti. "Apa ini sudah benar?". Dialogku sambil menyesap kembali secangkir teh dan menikmati rasa yang ia hadirkan di indra pengecapku. Sejenak ku langsung menemukan bait selanjutnya yang harus ku tuliskan.


Ku menulis di atas selembar kertas usang, berharap dia tak akan pernah hilang di makan waktu. "Semoga sesuai dengan ekspektasi." Gelakku menggema, Aku menuliskan kembali sepenggal kata demi kata dengan pena yang setia menemani. "Tak apa, kamu bisa!" ucapku menyemangati diri. Tak banyak kata yang bisa kuracik sebab aku imajinasi terperangkap dalam isi cangkir ini.


Di setiap sesap selalu terselip bayangmu "Apa aku tak apa mengkhayalkan hal yang belum pasti terjadi? Ah, pasti tak apa". Lalu penaku bergerak menumpah segala memori tentangmu. Biarku abadikan semangat juangku di sebuah memori usang ini. Dan berakhir dalam sebuah kemenangan aku tersenyum melihat hasilnya "Aku tak akan pernah lupa hangatnya secangkir teh dan juga uangnya isi pemikiranku saat mengerjakan tugas akhir ini. Rasanya manis semanis masa depanku kelak." 


Biarkan rasa isi dalam cangkir ini mewakili seluruh perasaan ku yang ada saat ini.


Ruang Aksara, 12 Agustus 2021


Pejuang Skripsi

Oleh Ahlul Aqdi


Insomniaku membusuk di sudut kamar. Layar laptop masih terbentang. Malam ke malam aku berlayar pada laut yang sepi tuan. Rasanya hari tak pernah siang dan kau, cintaku, yang amat kubenci. Kapan semua ini akan berakhir.


Malam ke malam berlalu seperti helaian kertas yang diterbang angin. Aku sudah di ujung, tetapi ujung yang sangat panjang. Pantai sudah terlihat, tapi laut seakan membelah dirinya, melebarkan jarakku pada daratan.


Awalnya aku melihat ada banyak kapal yang berlayar bersamaku. Namun di laut yang luas, kami berpencar. Sekali terdengar kabar, ada yang sudah sampai di daratan. Sekali juga ada yang hilang dan terbuang.


Malam ke malam aku berlayar sendirian. Memperbaiki segala hal yang kadang tak kumengerti. Rasanya hari tak pernah siang. Dan daratan kian terbenam.


Mahasiswa pejuang toga, begitu aku disapa. Dalam setiap bunyi _keyboard_-ku ada malam-malam yang kuacuhkan. Dalam setiap bunyi _printer_ ada doa yang kuterbangkan. Dan malam-malam aku berlayar, ada letih yang ingin kuhentikan.


Tapaktuan, 12 Agustus 2021


Derap Harap

Oleh: 

@⁨Ahmad Kaab⁩ 

@⁨Alvika PI⁩ 

@⁨Naily Ts⁩ 

@⁨Siti Solehah⁩ 

@Siti Azizah


Waktu terus berputar, berusaha untuk terus berjibaku dengan tugas akhir memanglah membuat kepala pusing tujuh keliling. Berpacu dengan waktu dan menyempatkan walau tak sempat. Tugas akhir adalah tugas yang harus dilakukan untuk ada sejarah dalam hidup yang diukir.


Buku-buku menumpuk di atas meja, mereka adalah temanku saat ini. Penampilan sudah tak dipikirkan lagi, terserah bagaimana pandangan orang tentang diriku yang semakin hari semakin tak bisa menjaga diri, yang terpenting saat ini adalah tugas akhirku selesai. Kepala terasa mau pecah karna terlalu penuh menampung ide-ide yang akan kutuangkan dalam secarik kertas. Kemudian kertas itu masih harus kususun dalam bentuk buku, entahlah rasanya aku sudah seperti profesor saja.


Terkadang pusing bisa berpuing-puing. Tetapi kalau mengingat bahwa tujuan akan segera tercapai, disitu semangat mulai tumbuh kembali. Meski terkadang beberapa hambatan seringkali menghampiri. Tugas akhir memang bukan akhir dari segala tugas, melainkan permulaan dari tugas-tugas selanjutnya.


Pejuang toga

Kala diri ini mulai patah

Waktu kian berputar tanpa henti

Percikan ujian mulai menyapa dalam atma


Tubuh mulai lelah. Namun, ia yang kudamba 'kan kucapai dengan segera. Berharap citta 'kan segera terlaksana. Tak lupa pula, ikhtiar ini kuiringi dengan do'a. Walau kutahu, juang ini bukan akhir dari segalanya. Rintang panjang masih harus kuterjang. Menuju kehidupan nyata yang menanti disana. Selaksa juang yang menunggu tuk kita selami. Ialah kehidupan yang haqiqi.


Samudera Asa, 12 Agustus 2021

[Antologi Puisi] Tentang Jurusan



Tentang Jurusan

Oleh Ramlan Chasani


Aku tidak tahu sebenarnya yang aku ambil itu hukum atau hukuman. 


Aku juga kadang bingung antara tugas atau tumpukan persoalan untuk poin-poin nilai


Kadang membeli modul saja bisa menghasilkan nilai tanpa perlu mendalami ilmu itu sendiri


Sesekali bahkan sering kali kawanku menjokikan tumpukan tugasnya dengan pundi-pundi rupiah


Mungkin karena hal itu ada perbedaan yang jelas antara kenyataan dengan buku-buku tebal ini


Mungkin karena itu hukum timpang pada yang miskin 


Mungkin karena kebiasaan itu 


Aku lihat pengadilan tak lagi sama dengan hukum yang tertulis


Dari seorang yang salah jurusan, Di Lautan penipuan.


13 Agustus 2021


Difusi

Oleh Rina mutiara


Dalam tataran yang kian tinggi

Syarafku terinfeksi virus alami

Menyalin puisi dalam kode DNA sel bakteri

Seakan menarik untuk dikaji dan didalami


Rumit, tapi analgesik

Yang kata orang game lebih asik

Tidak denganku, malah mensintesa senyawa anorganik

Seakan menjadi substrat bermakna yang semakin cantik


Ikatan kovalen, 

Warna-warni pigmen, 

Aliran cinta gen, 

Ah pokoknya Keren! 


Entah kenapa aku bersimbiosis dengannya

Padahal grafik organ-organ tubuh menjejal 

Yang jelas cerembrumku senang diajak bekerja sama

Tanpa meninggikan trombosit dan membual


Yang pasti, 

Berharap diri selalu berkolerasi

Selalu baik berinteraksi

Gapai cita-cita dengan persistensi


Bekasi, 13 Agustus 2021


Siklus Akuntansi

Oleh Siti Azizah


Seolah 'ku berjalan di garis keseimbangan

Debit dan kredit jadi patokan

Pada setiap tikungan penjualan

Pun tak jarang berkeloknya pengeluaran


Kujaga ia dalam siklus yang tak pernah putus

Teliti berikhtisar dalam format kertas kerja

Nol yang tak berguna, bagiku amat berharga

Tanda dan koma bukan pula hal sederhana


Deret angka dalam tabel berusaha merumus masa depan

Meramu setiap kisah berdasar bukti nyata

Merekam setiap peristiwa tuk sebuah keputusan

Hingga terbentuk yang diperjuangkan dalam sebuah laporan


Ruang Angka, 13 Agustus 2021

Rabu, 11 Agustus 2021

[Antologi Puisi] Tuhan, Jagakan Dia Untukku



Tentang Kita, Tuhan dan Kepergian 

Oleh Andi Rusmana 


Semilir senja masih seperti biasa

turutkan patah harapan pada ujung dinginnya

engkau yang pernah kusemogakan dalam doa

kini tinggal puing-puing repih sebuah luka


Detik seakan berkata 

Sudah waktunya pulang 

Alam seakan ikut menduga 

Tiba saatnya untuk hilang 


Musim berganti musim, terus berputar

Serupa jantung yang selalu mendebar

Sedang penantian menunggu kian tak sabar

Menyaksikan wajah rindu memudar


Kita adalah jarak, sekarang 

Ada, tapi berjauhan 

Kita adalah pelangi dan hujan 

Bertemu, lalu meninggalkan


Ku titipkan, dia pada tuhan 

Agar ikhlas bisa tertunaikan 

Ku memohon pada tuhan 

untuk selalu hadir kan senyuman 


Tuhan menjagamu dan aku merelakan mu 

Tuhan melindungimu lalu, aku mendo'a kanmu

Karna ini adalah tentang kita 

Tuhan, dan 

Sebuah kepergian 



Patahan hujan, 

Cianjur, 06 Agustus 2021



Bisikan Atma yang Tertuju Padanya

Oleh Hernatiyah



Rinai hujan membasahi dahan

Malam syahdu yang aku sebut penantian

Rindu kian meradang inginkan temu

Namun na'as ada tembok menjulang sampai aku tak bisa menembusmu


Tuhan, jika benar dia adalah yang kau pastikan 

Jagakan dia untukku di hujung penantian

Memberi jeda agar kita dapat bersua

Tuhan tahu yang terbaik bagi hambanya


Tuhan, jagakan dia untukku

Tetapkan yakinnya padaku

Tunaikan janjinya agar aku tak lagi ragu

Pastikan janjinya tak akan lagi mengingkariku


Tuhan, selaraskan atmaku

Agar aku tak lagi ragu

Pada jiwa yang Kau pilih untukku

Semoga ini tak akan membuatku jatuh, karena akan aku serahkan pada-Mu.


Serang, 06 Agustus 2021


Kutitipkan Engkau pada Tuhan

Oleh Diantiwikke


pagi ini, aku kembali berjumpa

rumah bercat merah

tampak pria duduk teringa-inga

ditemani dua ekor kuda


terlihat jelas guratan derita

menerbitkan pucat pasi dalam durja

ingin sekali kakiku melangkah

duduk dan memeluknya


tetapi aku tidak bisa

meniti pagar pembatas di antara kita

aku sudah ada yang punya

dan dia masih tertumus duka


aku tidak lagi bisa menjaga

dia yang pernah aku cinta

aku hanya bisa menitipkannya 

kepada Sang pencipta, atas semua situasi dan kondisinya


Ruang lepas, 06 Agustus 2021

[Antologi Puisi] Elegi Cinta, Semburat Arunika, Rinai Embun



Elegi Cinta

Oleh Kelompok D


Sarayu berbisik syahdu

Melodi usang mengalun merdu

Memutar kenang masa lalu

Pada rintih bait-bait pilu


Ini tentang waktu

Yang menuntut berlalu

Ini bukan tentang jarak

Yang bisa dilabrak


Rindu yang belum tuntas

Membuat hatiku mengeras

Meski hatimu terlihat selembut kapas

Justru membuatku jatuh terhempas


Sungguh, Seakan jamanika kembali terbuka

Lorong hitam kembali terlihat aksa

Hendak kubantah tapi itu adanya

Walau terkadang pedih menyapa 


Menggores kenangan kelam

Membuat impianku padam

Senyummu yang masam

Membuatku semakin dendam


Ah, sudahlah kita tutup saja

Elegi itu tenggelamkan dalam pusara

Saatnya menutup jendela luka

Di balik tabir ruang dada menuntaskannya


Ruang maya, 3 Agustus 2021


Oleh:

@⁨zizahazzahra_⁩ 

@⁨Alfina Yulianti⁩ 

@⁨Abdil Arif⁩ 




Semburat Arunika

Oleh Kelompok A


Arunika mengintip malu-malu

Menyentuh lembut daksa 

Melewatkan haru pilu

Membawa serta bingkisan harsa


Titik-titik air mulai mengudara

Menawarkan secangkir penuh aroma karsa

Kuangguk, hirup lalu teguk

Hangatnya menjalari sekujur tubuh


Aku ingin menjadi hangatmu

Yang menemani mendungku

Dalam setiap harsa yang terpatri akan senyummu

Bisakah kau menjadikan diriku arunika dalam hidupmu?


Anila berhembus syahdu

Melirik liar tiap kata

Merayu pintu

Memetik tangkai bunga


Di balik beningnya kaca jendela

'Ku masih meramu doa 

Entah ujungnya bagaimana

Tetap kulangitkan tentang kita


Entahlah!

Syairku atau wajahmu yang melintasi jendela

Sebab cinta selalu punya cara

Mempertemukan kita yang berbeda


Ruang Kaca, 03 Agustus 2021

Oleh: 

- Siti Hajar

- Rizka munira

- M. Hilmi Hidayat

- Nadia Attari

- Yogi Syahputra


Rinai Embun

Oleh Kelompok C


Aku merasakan sejuknya rinai embun yang menerpa pagi

Ayam dan burung menyuarakan keindahannya

Mentari mulai menampakkan wajahnya

Dari balik jendela kamar yang usang itu aku menghamparkan pandangan


Terlihat sebuah semburat cahaya

Terang, hampir menyilaukan pandanganku

Kututup kembali tirai jendela kamar

"Ah sial!, rupanya kamu yang menjelma dari masa lalu"


Aku Bergegas mengambil pena andalanku

Menulis banyak keresahan

Tentangmu yang dahulu datang untuk pulang

Dan pergimu untuk menyisakan sakit berkepanjangan


Aku masih tetap menulis

Menuai cerita lama yang masih kuat dalam ingatan

Langkahku masih saja salah, ingin melupakan namun semakin kuat dalam ingatan

Hati yang rapuh, sandaranku butuh bahu jendela baru


Aku rindu kamu

Yang kini menjelma dinginnya embun

Menyirami dedaunan

Menyuburkan kenangan


Bagaimanakah aku menuankan rindu yang dulu sempat mendekat?

Langkahku yang lunglai sedangkan larimu begitu cepat

Kurangku tak terisi lagi dengan lebihmu 

Syukurku adalah kamu pernah memilih singgah meski tak betah


03 Agustus 2021

Oleh: 

  1. Rahmat
  2. Aziz
  3. Ananda 
  4. Muhamad Zaenudin
  5. Nur Syafiqah

Minggu, 25 Juli 2021

[Antologi Puisi] Virus





Apakah Ini Sudah Tepat?

Oleh Kelompok C


Di tengah pandemi seperti ini

Mengais-ngais rejeki

Lebih susah dari biasanya

Dan aku, makan sisa nasi kemarin


Corona

Dalam sekejap kau guncangkan dunia

Meluluhlantahkan perekonomian 

Dan mengubah peradaban manusia


Karena virus 

Banyak manusia yang menjadi kurus

Jiwa yang tak terurus 

Karena harga makanan yang tak lagi mampu ditebus


Oh, Negara..

Sudah susah dibuat semakin resah

Kerja di PHK, berniaga ditutup paksa

Tak mampu bayar denda diancam penjara


Apakah ini sudah tepat?

Kami diminta diam di tempat

Tapi bantuan sosial tak kunjung didapat

Lantas, bagaimana nasib kami para rakyat


Bagai tertusuk duri

Sakit sekali hati ini

Setiap malam hanya pikir anak istri

Tuhan, hamba pasrah dengan keadaan ini


Para pemimpin negeri,

Dengarlah keluhan kami

Entah apakah kami mampu bertahan dari virus ini

Atau malah perlahan mati karena tak mampu hidupi diri


Ruang Diskusi

22 Juli 2021


Kelompok C

1. Naily Tazkiyyah S

2. Muhammad Fauzan Cahyoko

3. Nia Rahmawati


Si Tak Terlihat

Oleh Kelompok A 


Ia datang mengetuk pintu bumi 

Tak beraga tapi menakuti 

Hidup bersarang ia geluti

Membuat manusia mati 


Ia membuat sesak 

Tidak hanya sesak rindu tapi sesak nafas 

Ia membuat jarak 

Tidak hanya jarak sosial tapi jarak kita 


Dia membuat gentar di mana mana 

Ia merenggut suka dan tawa 

Menebar duka dan derita 

Kehilangan adalah cara 


Tua muda ia datangi 

Selagi manusia tidak menjaga diri 

Bersiaplah menghadapi 

Karna virus ini enggan lari 


Tak ada obat ampuh 

Selain sabar dan doa 

Tak ada jalan lain 

Selain bertaqwa pada tuhan yang esa 


Berhenti menyakiti 

Kita saling mengobati 

Karna virus ini bukan di takuti 

Tapi bersatu kita lewati 


Kamis, 22 Juli 2021


Anggota 

1. Andi Rusmana 

2. Mardiah hayati 

3. Nurhalisa 

4. Setrio Hardinata 

5. Ismatu Ulya 

6. Eka Saputri


Sang Niqab Indah Pembawa Virus Cinta

Oleh Kelompok D


Aku sudah mencintaimu dari awal 

Dari pertemuan tak sengaja di sudut kota 

Mungkin, kau tidak menyadarinya

Karna dari awal memang hanya aku yang penasaran 


Mataku terpaku pada manusia-manusia kota yang menghalangi wajahnya dengan penutup kain 

Jarak-jarak menghalangi mereka untuk saling bertegur sapa 

Pandanganku teralihkan kepadamu, engkau yang berdiri tidak seberapa jauh di hadapanku.


Niqab hitam yang terlilit di wajahmu, dengan hijab yang panjang menutupi lekuk tubuhmu membuatmu terlihat berbeda dari manusia-manusia di sekeliling sudut kota ini.


Cahaya merah di sudut kota tidak mampu menutupi rona merah jambu di kedua pipiku 

Aku melihatmu diam-diam mencuri pandang 

Aku tergoyah oleh virusmu


Dengan berlahan kau menjalar hampir ke seluruh nadi ini 

Dengan diam kau mampu membungkam isi kepalaku 

Setelah hari itu, kau berhasil merenggut seluruh isi perutku 

Menerbangkan kupu-kupu yang ingin ku jaga sepenuh hati


Walau tak kasat mata, namun tetap terasa nyata

Terhirup pada setiap napas lalu menyebar melalui aliran darah

Asmaraloka menyeruak dalam sanubari

Virus cinta mengetuk pintu hati temaram.


Virtual, 22 Juli 2021


Nama Kelompok:

1. Nurjannah 

2. Nursyafiqah

3. Zuraida

Sabtu, 17 Juli 2021

[Puisi] Ambigu Buta Kasih Ibu

 



Kisah tentang kasih yang melebihi samudera

Cinta yang suci lagi tinggi

Yang bila buahnya terluka

Pohonnya juga ikut merintih kesakitan


Ada angin yang ditumpangi debu

Meletup satu-satu menjadi bongkahan batu

Seorang ibu mengalir banyu

Lupa, cara mengayuh sampan ke mana hendak dituju.


Tetapi bunda adalah perwujudan cinta 

Dalam suka atau duka

Dalam terang atau kelam

Ia hadir bagai satu raga


Ibu adalah ibu

Kasih sayangnya tak pernah berdebu

Walaupun mulutnya sudah kelu

Untuk mengatakan kesalahan, yang kemudian ia anggap angin lalu


Anak salah kenapa dibela

Begitu sanggahan mereka

Hanya bisa menatap, meratap

Yang kutahu, kasih ibu sepanjang masa


Saking dalamnya cinta

Membuat percaya jadi buta

Menghilangkan kebenaran yang ada

Sang ibu tak salah hanya kasihnya saja yang buta arah


Selasa, 13 Juli 2021

Bumi Aksara


KELOMPOK E

1. Ismatu Ulya

2. Bagus Randa Taufan 

3. Ramlan Chasani

4. Ai Criyani  

5. Yurna Jingga Sitara

6. Mifta

Selasa, 13 Juli 2021

[Antologi Puisi] Rinai Hujan




Hujan Malam Tadi

Kelompok: D


Rahasia embun merekah di malam sunyi

Menyusut di pagi hari

Melati putih di taman, pekarangan rumahku 

Lembab didera hujan subuh tadi


Matahari mulai menampakan sinarnya

Jalanan yang basah

Dan aroma petrikor yang menyengat di udara

Seakan memberi tanda; bahwa permulaan hari sudah dimulai


Dingin masih membekas begitu kuat

Burung kenari bersiul di dahan tua

Menerpa dedaunan layu tersiram rinai

Menyisakan dingin yang belum sempat diselimuti surya


Syam muncul di ufuk timur 

Sinarnya menembus hingga sudut-sudut kosong

Berharap menghangati jasad kaku

Namun layu di lahap waktu


Dari langit yang perlahan membiru

Dan langkahku yang membeku

Bidari turun ke bumi

Mengucapkan selamat pagi


Atas hujan malam tadi

Membasahi lumbung-lumbung dan atap rumahku

Menjejal melati kesayanganku

Aku terbangun karena mentari mengetuk pintu kamarku


Rumahku, 6 Juli 2021



Oleh:

Murlin Andaka

Bagus Randa Taufan 

Naily Tazkiyyah

Muhammad Zaenudin



Rinai Rindu tentang Hujan di Kota Kecil

Oleh: Kelompok E


Mega sedu berarak keruh.

Riuh bayu mulai berdesir menderuh.

Rinai hujan dari langit, kembali jatuh.

Berlarut dengan air mata pedih yang sudah tak kenal utuh.


Bersama hujan yang mengguyur kota kecil tempat kutinggal.

Aku merindu sosok istemewa yang buatku bahagia, dulu.

Senyum manis milikmu masih kusimpan rapat dalam hati.

Bisakah kuulang masa terindah itu?


Asa yang kutoreh hanyut dalam gemuruh.

Hantarkan hati yang semakin menjauh dari kata kenal.

Kita sudah berjarak, selamanya akan menjadi debu yang menganak sungai.

Membenam rindu menjadi abu dari bakaran kayu kehidupan.


Atma beradu dengan nestapa.

Menatap memori lama, menyayat jiwa.

Menusuk rindu hingga menyeruak keluar.

Dengan satu tarikan napas yang terdengar gusar.


Waktu, putarlah kembali pada 5 tahun yang lalu.

Di saat semuanya masih terasa utuh.

Dekapanmu, membuatku tenang.

Dan kini, hanya bisa kukenang.


Kenangan yang menjadi saksi bisu dahulu.

Apa aku bisa melupakan samudra yang membawakan gemuruh pada masa laluku? 

Aku terlanjur masuk ke dalam bilik gelap penuh duri.

Yang membawaku dalam kenangan waktu yang saban hari kian menyakiti



Nusantara, 6 Juli 2021



Oleh:

1. Agnesia Salimba 

2. Ryania Kartika

3. Mardhiah Hayati

4. Rizka Munira

5. Ira Rianti

6. Sofia Dharmayanti



Luka di Rinai Hujan

Oleh: Kelompok F


Rintik sendu memutar kenangan lalu

Dalam remang ku rajut sajak kelu

Aku rindu pada rinai hujan

Yang tiap perciknya selalu hadirkan harapan


Nyeri yang kau berikan, kuresapi di antara hujan

Sembilu yang menjalar kusembunyikan dalam kebasahan

Kau berikan luka yang begitu menyayat jiwa


Memang rasanya menyakitkan

Tapi inilah kenyataan

Saat angan hampir tergenggam

Takdir perpisahan datang menerkam


Rintik yang berirama

Menjadi saksi atas sebuah drama

Penantian yang dibalas penghianatan

Biarlah tenggelam dalam kenangan


Gemuruh mengantarkan peluh 

Pada setiap percik yang jatuh membasahiku

Tapi tak mengapa

Perlahan 'kan ku coba terima


Bangkit dan kembali meniti hati

Berjalan menuju tujuan

Di sela-sela gemercik rinai hujan

Ku coba kembali rapalkan harapan



Ruang diskusi, 6 Juli 2021


Oleh: 

1. Denta Helda Anissa

2. Nia Rahmawati

3. Setrio Hardinata

4. Zuraida

Senin, 05 Juli 2021

[Antologi Puisi] Kehilangan




Kehilangan

Oleh: 

1. Dessy Kurniawati

2. Sarika Sarah

3. Noviyanti

4. Its Leon


Seribu bayang penuh tanya di pesisir hati

Dari ingatan yang masih segar

Hilangnya kau dari hidupku

Begitu membuat patah hati


Cinta yang sempat tertanam

Namun dengan sekejap pergi

Asmara yang sempat kita rasakan

Berlalu menjadi sepi


Kebisuan langit malam

Sering timbulkan gumpalan angan

Sering terbesit di sepertiga malam

Untuk melepas semua kenangan


Meski mendung di langit tak hujan

Mendung di mata kian berjatuhan

Teringat lagi sosok yang dirindukan

Selepas diterpa badai perpisahan


Ruang Diskusi, 29 Juni 2021


Muara Kehilangan

Oleh: ⁩Syifa, dkk. 


Kamu adalah muara adiksi

Daksa yang pernah menyuarakan persuasi

Setelah dirimu menjadikanku seolah maharani

Kini kau raib meniadakan kata permisi


Aku berjalan henti tanpa arah

Lalu tiba di tempat antah berantah

Kini ranting tua telah patah

Begitu pun hati yang tak lagi cerah


Gelap, gusar, kasar, dan menyakitkan

Cukup mengajarkan tentang kesendirian

Bunyi gemericik rintik hujan

Kini mengajarkan kepasrahan


Di ujung keputusasaan 

Mencari sebuah kerinduan 

Mungkin kau titipkan pada sang bulan

Tenang dalam harapan


Ruang H, 29 Juni 2021



Perihal Kehilangan

Oleh:

1. @⁨Aqdi⁩ 

2. @Tiaraa

3. @⁨Rusman Alvaro⁩ 


Aku kini daun

Yang kehilangan alun

Aku kini riak

Yang sunyi tanpa ombak


Hati seketika membeku mengkristal

Tak kan lagi aku mencari atau menyesali

Cinta tirani itu kata utopis yang gagal

Waktu menyadarkanku lagi dan lagi


Hidup layak disebut sebuah sinema 

Kenyataan lebih menyakitkan 

Sakit tetaplah sakit, patah tetaplah patah

Tak ada peran pengganti untuk kisah pemuda patah hati


Kini lengkaplah sudah kesunyian hidupku

Kau yang pernah mengisi perlahan menghilang tanpa jejak

Mungkinkah hubungan setahun ini, terhapus oleh dia yang baru sehari berjumpa

Kasih...


Lengkara Hati, 29 Juni 2021

[Antologi Prosais] Asa





Lihat! 

Oleh Noviyanti


Malam hari telah tiba, Kaku dan Lelah jadi santapan setiap harinya, Menggerutu tentang kegagalan hari ini juga jadi rutinitas, Tak sedikit banyak amarah yang terpendam.

Lepaskan semuanya, lepaskan belenggu yang tak jelas, Perbaiki banyaknya kegagalan untuk tidak terulang lagi.

Cukup, sudahi semua pikiran yang tak perlu dipikirkan, itu sangat menyiksa setiap malam.

Lihatlah sekarang, aku lebih bahagia karena melepaskan belenggu, lebih bahagia untuk menerima kegagalan, dan lebih siap memperbaiki segalanya.


1 Juli 2021



Gadis Tabah

 Qonitia Lutfiah


Langkah kecil gadis yang selalu menggengam asa berjalan menyusuri lembah penuh rahasia. Berhenti di perjalanan bernama masa remaja. Mencoba berbagai hal yang belum pernah dicoba. Mengenal semua manusia yang pernah dijumpa. 

Namun, ombak mulai bergelombang ke arahnya. Mengikis sedikit asa yang pernah tercipta. Sebab bertemu dengan sosok yang menorehkan luka. Hingga gadis itu memutuskan untuk melupa. 

Beranjak dari rasa yang pernah ada agar tak merusak segala asa. Menerima segala rencana semesta yang terkadang membuatnya tertawa pun kecewa. Terima kasih gadis baik yang selalu berusaha menerima. Terima kasih telah tabah menghadapi segala ujian semesta. 


Ruang Rasa, 1 Juli 2021



Noda Telah Dikorek

Oleh Herly 


Dulu Aku pemaksa, ya memaksa apa yang kumau. Mulai dari sepatu, baju yang terletak di kaca. Ya, menarik memang, membuat Aku tak memikirkan ternyata Ibuku tak punya uang untuk membelinya. Aku bersama Ibu meninggalkan toko itu. Dan ditempat lain, tak jauh dari toko tadi. Ibuku menjelaskan bahwa uangnya tak cukup untuk mendapatkan barang yang kusuka. Sehingga Aku menangis meronta-ronta tak mau pulang sampai mendapatkannya. Sampai aku dipaksa dan diberi makanan tahu potong. Agar menangisku reda lalu pulang.

Dibalik itu, kini Aku yang telah diujung menulis skripsi. Orang yang akan berjuang untuk rupiah. Sangat menyesal atas egoisku dulu. Membuat Ibuku sedih atas kegagalannya memenuhi keinginanku. Padahal Ibuku berjuang mendapatkan rupiah dari pagi sampai malam. Ya sebelum ayam berkokok sampai malam menunjukkan gelapnya untuk uang sekolahku yang pernah menunggak. Ya, Aku baru sadar sekarang. Bahwa Aku akan mengalami sulitnya itu. Namun aku yakin bahwa ini menjadi pelajaranku. Diriku dimasa lalu sudah tidak terulang. Kini Aku harus menahan egoku sendiri. Mengatur hidup. Karena sekarang telah berbeda, bahkan berbanding terbalik. Sebalik kisah yang tak apik.


Ruang sadar, 1 Juli 2021

Sabtu, 03 Juli 2021

[Antologi Puisi Akrostik] Buah


DURI DURIAN

Oleh Setrio Hardinata


Datangnya yang tak disangka-sangka

Untuk membawa kabar gembira

Raut mukanya yang merah merona

Indah ucapannya yang menyejukkan jiwa


Dialah sang pembawa berita

Undangan nikah yang berlangsung meriah

Remuk redam perasaan di dada

Ibarat tertusuk jarum-jarum asmara

Akankah diriku sanggup melihat ia berdua

Nyanyian luka yang bersenandung di dada.


Padang, 01 Juli 2021



Persik & Zaitun

Oleh Bagus Randa Taufan


Patwa kala bulan merah nyala

Elegi yang tertunda oleh

Raksi buah rajuknya

Sehingga rebas pula daun-daunnya

Imbalan hidup bersama luka

Kata dari kata kepada raka yang membara


Zaman kian karam dan tenggelam

Alam kian tua dan renta badannya

Iktikad diri makin lama makin goyah ujudnya

Tabir bagai bebatuan terkikis ombak

Uzur sudah hikayat buana

Nasibnya sudah berakhir menjadi nama


Dalam Renungan, 1 Juli 2021



RAMBUTAN

Oleh: Zuraida


Rambut hitam lebat menambah keanggunan sepasang mata sayu 


Alih-alih menebar pesona, kau hanya berdiam diri di pojokan ruangan dengan cahaya remang-remang


Mata sayu itu memancarkan cahaya keindahan

 

Bukan kepalang aku terpesona 


Ujung rambut lebatmu bergelombang 


Tatapan syahdumu sulit aku lupakan 


Alunan musik mengikuti ritme detak jantungku 


Nona, sore itu engkau berhasil merebut hatiku


Banda Aceh, 1 Juli 2021

[Antologi Puisi] Hipokrit

 




Realita 


Pasang mata!

Putih tak selamanya putih

Mereka tak selamanya kawan

Dengar! Dengarkan baik baik


Hidup tenang dan tentram?

Jangan berpikir demikian

Hati-hati! Lihat kanan kirimu

Mereka sedang menunggu lelahmu


Lelahmu tak akan selamanya ada

Kesabaran akan berbuah indah

Jika sudah tiba saatnya

Lihatlah keajaiban dari Allah


Sekali lagi!

Putih tak selamanya bersih.

Merah tak selamanya indah

Begitulah bunyi pepatah.


Rasa t'lah berubah menjadi asa

Kalah tak hanya pulang

Pun menang tak selamanya kenang

Untuk seluruh atma yang hilang


Di balik sifat ramah tak selamanya merendah

Ingatlah!!

Di atas langit masih ada langit

Di bawah tanah masih ada tanah


Oleh:

Imelda Trisna Rahayu

Setrio Hardinata

Sintia Ernanda

Mifta

Alvia Duz Jannah 

Murlin Andaka



Putri Pagelaran


Senyum manis kala menyapa 

Di belakang memenggal kepala 

Topeng kasat terpasang sempurna 

Ah, rupanya kau pemeran yang paripurna


Bahasa tubuh adalah tipuan belaka

Kala topeng kuat mewajah

Tak terlihat bak skenario niskala

Diam-diam menjamu sandiwara


Kepiawaianmu melontar kata 

Laksana protagonis yang nyata 

Ibarat kepulan asap, tak bisa meredam

Puncaknya, kau berhasil menggores paling dalam


Senyum tawa pada dunia

Tanpa tahu rupa sebenarnya

Riasan wajah topeng belaka

Menutup goresan hitam yang terluka


Berjubah malaikat bertanduk iblis

Menjerat sukma bermulut manis

Sang perayu ulung menebar racun

Menikam sayap aroma belati


Kau pemegang pentas drama

Pada panggung yang penuh dusta

Berlaga benar nyatanya tidak

Sungguh hebat, kau juara dalam bermuka dua


Dan lagi-lagi aku jadi kambing hitam

Korban dari ketidakwarasanmu

Aku menyerah

Ternyata sandiwara mu memang paripurna


Bumi, 29 juni 2021


Oleh: 

1. Alfiya Yasmin

2. Zakiyatul Arifah

3. Nur syafiqah

3. Ramlan Chasani



Luka


Kau menjelma si putih tanpa dosa

Bertopeng malaikat berhati iblis

Menyayat hati hingga mati

Kau adalah pemeran utama dalam permainan ini


Kau senandungkan lagu-lagu suka

Tapi yang kau beri adalah duka

Bicara soal nurani, seakan kau yang paling mengerti

Padahal kau yang paling membenci


Rupanya kau teramat pandai

Pandai mempermainkan hati

Kau buat aku begitu menyayangi

Dan kau mengakhiri dengan melukaiku lagi


Sungguh kau menyakitiku

Lebih pedih dari sayatan pisau

Merusak segala tatanan hati

Apa yang sebenarnya kau mau?


Bayangkan saja, aku yang merawatmu dengan cinta

Dia yang kau balas dengan sayang

Bagaimana tidak aku sakit hati

Jika dirimu terus berdusta


Sudahlah, akhiri saja hubungan kita

Semua pagi, siang, dan malam kita

Adalah kesia-sian yang entah kenapa bisa hadir

Di hidupku untukmu


29 Juni 2021


Oleh: 

Septia Hermawati

Fauzan Cahyoko

Mardhiah Hayati

Selasa, 29 Juni 2021

[Antologi Puisi Multilingual] Bebas





Abhiyoga

Oleh Rina Mutiara


Turun setitik

Teringat secarik

Rada nyelekit

Kana peujit


Rintik air terus menghujam kejam 

Jiwaku berteriak pilu

Terbalut kapas bekas

Meresap lalu hirap


Masih seputar sendu

Merindu pada insan semu

Pilu yang dulu beku

Membuat kekecewaan baru


Nyesek karasa

Nyulusup kana jero dada

Hujan nutupan cai mata

Girimis cinta


Bekasi, 24 Juni 2021



Sumerah

Oleh: Siti Azizah


Haleuang peuting ngusik hate anu simpe

Dalingdingna ngusap rasa nu teu daya

Ngarangkul, nyimbutan hate

Nu pinuh ku panggentra tur pamenta


Akara sang baskara menjelma purnama

Menghantar sendu pada pinta dan do'a

Mengharap, menghiba pada Maha Kuasa

Mendamba rasa, ikhlaskan jalan cerita


Duh Gusti, mung ka Anjeun abdi sumerah diri

Caang bulan nu nyakseni sagala rupi

Miharep pasrah tur merenah ieu ati

Kana sagala rupi nu jadi katangtuan Gusti


Peuting Jempling, 24 Juni 2021



Tanah

Oleh: Syifa Rp.


Tanah..

Coklat hitam warna ka

Ditapaki jejak-jejak panjang

Pun tapak pendek


Tanah..

Diguyuri hujan ka dak membalas

Ditumbuhi rumput dak ka hirau

Dicangkul dalam ka dak tersakiti


Tanah..

Andai ka pacak bicara

Andai ka nek berucap

Gampanglah ka nak membalas


Namun engka memberi faedah

Bagi manusia yang suka serakah

Kirak ka punya tubuh

Pasti sudah berdarah-darah


Lahan luasmu sering manusio ambik

Sekuayok ati tanpa diperbaiki

Tapi tetep engka baek

Demi hunian segale umat 


Sungailiat, 24 Juni 2021

[Antologi Puisi] Bangkit






Berani Bicara Itu Pilihan

Oleh Tiaraa & Ananda⁩ 


Similir angin berembus semakin kencang

Deru ombakpun tak kalah mengguncang

Sementara di darat, pohon-pohon perlindungan telah tumbang

Tiada yang bisa menyelamatkanmu, kecuali dirimu seorang


Bukankah hidup ini milik setiap insan

Kenapa diam dan bungkam jadi pilihan 

Akankah raga ini tunduk pada yang kuasa

Sedangkan atma menggebu ingin keluar dari jeratan adikara


Kita hidup dalam dunia penuh rekayasa

Jangan lemah oleh pemimpin banyak harta

Hidupmu perlu nahkoda

Bangkit dan kemudikan perahu asa


Terkadang, dalam hidup itu penuh dengan keterlukaan

Negeri kita kian berantakan

Barangkali keluarga juga tak karuan

Untuk itu, bangkitlah, terkadang menyelamatkan diri sendiri bukan bentuk keegoisan


Indonesia, 22 Juni 2021



Luka dan Bangkit

Oleh Rinam, dkk. 


Kala senja merangkak meninggalkan

Daun kering kerontang bertebaran

Saat itu pula dirimu menikam kejam

Menghantam bagai meriam


Suguhan janji yang tak ditepati

Tinggalkan lebam di lubuk hati

Retisalya menjelma pada bait cerita

Hirapkan asa nan tercipta dalam renjana


Terdiam dalam pekatnya malam

Menatap rinai hujan penuh kepiluan

Luka ini masih mengangga lebar

Ingin bangkit namun membatu


Seperti inikah harus merasakan sakit

Menelan hidup yang begitu pahit

Seolah ilusi

Namun nyata terjadi


Tapi, aku harus berdiri

Hentikan derita yang membelenggu hati

Kokohkan kembali rasa yang mati

Bangkitkan atma dengan Persistensi


Ruang Maya, 22 Juni 2021





Kembali Bertahan

Oleh 

Ahlul Aqdi & Abid Zakly Irawan



Duduk termenung di kesunyian malam

Tak ada bulan dan bintang menemani

Jiwa ini telah terhunus

Lalu tenggelam dalam lautan keputusasaan


Aku bagai camar yang kehilangan sarang

Bagai lebah yang kehilangan bunga

Aku patah di ranting-ranting malam

Aku tumpah di dalam gelap yang rekah


Dalam sepi malam yang bertaut-taut 

Dalam patah luluh lantah semangatku

Dalam hening isakku membasi

Tuhan tak pernah meninggalkan aku


Kubangkit kembali, demi asa yang kunanti

Ku 'kan terus bertahan, sederas apapun rintangannya

Beribu doa kupanjatkan

Semoga Tuhan memberkati langkahku


Nusantara, 22 Juni 2021

Sabtu, 26 Juni 2021

[Pentigraf] Bebas




Peringkat Pertama

Oleh Madu Kharisma


"Leee"

Terdengar suara asing beberapa kali di telingaku, sembari merapikan seragam biru putih ini yang agak sedikit berantakan. Aku melangkah mencari sumber suara tersebut, dengan memperhatikan setiap sudut suara tersebut semakin menggema di tiap tiap-tiap ruang dengan sedikit bergeming. Ah sial, ibuku sudah menunggu di garasi depan. Tepat saat kami tiba, suasana di sana benar-benar rusuh. Hiruk-pikuk terdengar sangat ricuh baik di antara segerombolan ibu-ibu yang membanggakan anak-anaknya maupun siswa-siswi yang menebak nebak siapa peringkat pertama.

Aku yang tengah menyiapkan fisik dan mentalku kini semakin berdegup-degup, kututup mataku sembari berdoa "Tuhan, kumohon pihak aku hari ini". Ibuku yang sambil melihat-lihat koridor sekolah sepertinya tidak begitu yakin pada anak satu satunya ini, tapi tentu saat pulang nanti ia sudah ganti profesi bak orator ahli. Sebagian kelas sudah diumumkan siapa yang akan menjadi sorotan hari ini hingga suasana sekolah semakin ricuh dengan pertentangan siswa dan siswi.

Aku dengan beberapa temanku menunggu di Aula dengan berharap akan mendapatkan kabar baik meskipun keadaannya tidak akan begitu baik. Bu Erlis selaku wali kelas tiba-tiba menghampiriku seraya menjabat tangan "Selamat ya, Nak, di semester ini kamu mendapat peringkat pertama". Dengan ekspresi melongo aku menatap Bu Erlis heran, "Ibu lagi bercanda, ya?". "Lho, ini serius, selamat ya kamu berhasil mendapat nilai terbaik disemester ini" Tatap bu erlis dengan tegas. Sesampai di rumah ibuku tak henti hentinya menceritakan peringkat ini kepada tetangga-tangganya dengan sangat bangga, lalu ayahku yang baru saja pulang kerja pun tiba tiba langsung memesan PS5. Tak lama kemudian suara ayam jantan berkokok.


Banyuwangi, 24 juni 2021


Bingung Sendiri

Oleh St. Nurjannah


Sepekan lalu, di ruangan yang remang dan aman, ya, itu dikamarku. Kugenggam ia dengan semestinya. Awalnya mulus, ia memberikan kemampuannya untukku, selalu mengikuti alurku. Ia-pun mampu memberikan cairan yang bisa memuaskanku, cairan yang memiliki warna lekat. 

Namun, tiba hari ini kurasa tidak ada lagi keserasian di antara kita. Padahal aku masih membutuhkannya, masih menginginkan kenikmatannya, keindahan cairan yang ia berikan.

Sungguh, dengan besarnya nafsuku, aku genggam ia dengan jari-jariku, kulayangkan ia ke atas dan ke bawah, tapi, ia tidak juga mengeluarkan cairan itu. Akhirnya aku memakai cara lain, kubuka tutup pena itu, dan kutiup ujung penyanggah tinta itu. Ya dia pena kesayanganku, yang kubeli sepekan lalu. Namun, tidak seperti biasanya tinta pena habis dengan cepat, padahal aku lebih sering mengetik, dibandingkan menulis. 


Tangerang, 24 Juni 2021



Bulat Merah

Oleh Agnesia


Seperti biasa, hari liburku kuhabiskan rebahan di kasur, dan menikmati makanan lezat buatan ibuku. Seharian di dalam kamar rasanya bosan, aku perlu hiburan. Akhirnya aku melangkahkan kakiku keluar rumah sembari berjalan-jalan santai. Bosan juga jika hanya sendirian, untung saja aku membawa handphone. Sama saja membosankan, tidak ada motif dari teman spesial. Sudahlah, aku kembali berjalan santai dan aku berhenti di sebuah warung untuk membeli makanan. Aku kembali melanjutkan jalan santaiku, sembari memakan makanan yang kubeli. 

Kuhentikan langkahku, karena aku melihat ada kerumunan orang di sebrang jalan. Aku pun menghampiri kerumanan orang tersebut. Tak dapat kulihat jelas apa yang mereka lihat, tapi aku mendengar apa yang mereka katakan, aku terkejut bukan main di saat salah satu orang mengatakan "Iya merah sekali". Pikiranku mulai ke mana-mana "Jangan-jangan darah orang kecelakaan", membuat seluruh tubuhku bergetar ngeri. Awalnya aku ingin beranjak pulang, tapi entah kenapa hatiku membiarkanku tetap di sini. Ini sungguh aneh tapi nyata.

Rasa penasaranku semakin menjadi-jadi. Dengan keringat dingin yang telah mengguyur seluruh tubuhku, kaki, dan tanganku juga gemetaran, akhirnya aku menerobos masuk melewati kerumunan orang. Setelah aku melihat, aku ingin berteriak dan menangis tapi malu dilihat banyak orang. Sungguh! aku tidak menyesal melihatnya, semangka itu benar-benar merah di dalamnya dan sepertinya sangat lezat untuk disantap.


Jember, 24 Juni 2021


[Antologi Puisi] Merah





Khimar Saksi Bisu


Desir angin menerpa tubuh rapuh

Menggenggam mawar lusuh

Tanpa ada suara tubuh ini mulai berjalan

Menghampiri siluet wanita yang rupawan


Lentik bulu matanya seindah mawar merah

Hitam pekat irisnya sepekat siluet senja

Khimar menjadi saksi akan keberaniannya

Melawan lara yang hadir untuknya


Sekejap mulut ini berbincang

"Mengagumimu dalam diam, menatapmu secara perlahan, memimpikanmu setiap malam

Bisakah aku bersanding denganmu dalam kehidupan

Melewati hara prakara bersamamu dengan senyuman, Nona?"


Ku beranikan langkah kaki mendekatinya,

Tidak untuk merayunya,

Namun, hati berbisik

Pantaskah mendekatinya tanpa ikatan?


Hasrat hati menyatukan sebuah rasa

Beratnya rindu tiada lagi tertahan dada

Berilah waktu sebelum pejamkan mata

Untuk memeluk darah daging sempat terpelihara


Perpaduan malam menghadirkan hujan

Membasahi kami dengan tatap penuh makna

Secercah cahaya binar terpantul dari iris Nona

Memberikan harapan pasti untukku


Akhir dari segala rasa yang terpendam, 

Kau sempatkan untuk menerima mawar lusuh ini.

Mata yang membulan seakan menandakan kau tersenyum manis di dalam balutan Khimar.



Ruang rindu, 22 Juni 2021


Oleh:

1. Siti Nurjannah

2. Naily Tazkiyyah Saputri

3. Sintia Ernanda N.

4. Ryania Kartika

5. MardhiahHayati

6. Madu Kharisma



Merah Putih


Merah darah bercucuran,

Di tengah medan juang,

Menghempaskan lawan,

Tegakkan kebenaran.


Menjadi saksi akan perjuangan

Tangisan menjadi irama kesedihan

Ketika semangat perjuangan diutamakan

Membela tanah air tumpah darah


Sewarna saga

Tangis memecah singgasana

Menumpah darah

Dari jiwa-jiwa tak bersalah


Mesiu mengudara

Bait pilu menggema

Negeriku, 

Begitu banyak penyaksian luka


Merah putih dikibarkan

Tanda puncak kemenangan

Dari lawan yang tak kenal kemanusiaan

Penjajah negeri tak bertuan


Pertumbuhan darah menjadi darah bagi air mata

Negeri tak bertuan belum di ambang ke jayaan

Dikarenakan banyak tangis malaikat kecil yang tak berdosa

Apakah ini pertanda bahwa kemerdekaan belum saatnya?


Ruang kesedihan, 22 juni 2021


Oleh: 

1. Rizka Munira

2. Setrio Hardinata

3. Alfiya Yasmin



Meruak Pilu


Suara angin saling menyapa,

Menuju ke hati begitu nestapa,

Helai daun enggan kelana,

Menembus raga tanpa rasa.


Terbungkus kesepian semakin dalam,

Tenggelam bersama lautan amarah,

Hembusan napas yang terbakar,

Putus asa menikmati luka.


Merintih senja semakin kelam,

Tersayat pilu luka kepedihan,

Mengejar bayang rangkai khayalan,

Atma menjerit bernada tragis.


Lesap yang sepi, 

Dia betandang berpisah mandiri,

Pergi terbuka tanpa sembunyi,

Menjauh, tanpa kembali


Bana sejarah yang semula sunyi kini berbunyi,

Terlintas, bebas, tanpa batas,

Krida yang lincah sumarah berhenti,

Akhirnya pancakara pada diri sendiri.


Galaba, perkenalan menjadi awal sejarahnya perpisahan

Dalam dalu yang meruak tanpa tertahan.


22 Juni 2021


Oleh: 

Muttaqina Imama 

Nur Syafiqah Binti Nahlil 

Mifta


Selasa, 22 Juni 2021

[Antologi Puisi] Kebebasan




Munajat Do'a

Oleh: Siti Azizah 


Sang hima tutupi buana

Pesona swastamita tak nampak di cakrawala

Pun kirana senja enggan sunggingkan tawa

Pada nabastala dan payoda nan beriring duka


Qobla adzan berkumandang

Bait do'a melangit lantang

Rasa dan asa melayang terbang

Pada ujung di titik juang


Teriring rindu yang tak lagi jadi milikku

Sebatas munajat pada Rabb-ku

Kuikhlaskan kata pamitmu

Yakini, terbaiklah takdir ini untukku


Biar cintaku tak seindah syair pujangga

Cukup lukaku tak memendam lara

Walau renjana tak berpihak pada kita

Tentang luka tenggelam di samudera rasa


Kini.. Pergi sudah cintaku

Terhantarkan segenap kerelaan rasaku

Dalam sujudku, pasrah atas takdir-Mu

Yakini dalam kalbu, yang terbaik dari sisi-Mu


Rona Senja, 03 Juni 2021



Rintihan Palestin

Oleh: Marzuqotun Najiyah


Aku tak berharap Kau mendarat sebagai Mufassir yang fasih ilmu-ilmu Tafsir


Aku tak berharap Kau mendarat sebagai biksu penyampai ajaran Sang Wisnu


Aku tak berharap Kau mendarat sebagai Pendeta yang melisankan doa-doa penuh Roja' dalam heningnya gereja


Aku tak berharap Kau mendarat sebagai jurnalis yang melaporkan berita-berita miris


Aku tak berharap Kau mendarat sebagai pegiat yang menyuguhkan kantong-kantong mayat


Aku tak berharap Kau mendarat sebagai tangan yang mengacungkan bendera perdamaian


Aku tak berharap Kau mendarat sebagai tenaga kesehatan yang menjahit sayatan-sayatan


Sungguh, Aku tak berharap

Aku,

Hanya berharap Kau mendarat sebagai manusia yang menjunjung tinggi rasa kemanusiaan.


Iya, Aku hanya berharap Kau mendarat atas nama kemanusiaan.


Brebes, 3 Juni 2021



Ketika Aku Membayangkan Kebebasan

Oleh: Ahlul Aqdi


Aku ingin seperti burung

Bukan karena cakrawala yang tak berujung


Aku ingin seperti ikan di laut lepas

Bukan karena lautnya yang maha luas


Tetapi aku ingin seperti puisiku

Bebas bermakna dan berwarna

Bebas berbait dan berima

Bebas mati atau abadi


Tapaktuan, 3 Juni 2021

Senin, 21 Juni 2021

[Antologi Puisi] Takdir



Gejolak Takdir


Oleh

ستي حجر

Herly⁩ 

Assyifanadia 

Novia 

MarzuqotunN


Desas desus kehidupan

Mengombang ambing diriku

Memojokkan hingga ketepi

Suratan yang sungguh menampar


Kala kelut membuat diri kusut

Karena kisah tak diusut

Membuat hati sudah susut

Hingga terayun seperti lumut


Gejolak hati ingin berontak

Masalah hidup terus menghampiri

Namun diri tidak bisa bertindak

Semua telah digaris bawahi


Kehidupan

Kematian

Segala hal yang masih diam dalam dugaan

Semoga sejalan dengan takdir yang telah ditetapkan Tuhan


Tuhan

berilah dadaku tetap lapang

atas takdir yang Engkau gariskan

sejak keazalian


Ruang Bahagia, 15 Juni 2021



Garis Takdir


Oleh

Fairuz

Nabila

Rosmalina

Sinta

Qonitia


Garis hidup telah di tuliskan

Sejak ruh di hembuskan dalam kandungan

Hingga nyawa di batas kerongkongan

Ikhtiar menjadi jalan


Takdir bak harmoni

Indah bila kau bisa memahaminya

Nikmati saja, mengeluh bukan jalan

Pun diam, itu hanya kesia-siaan


Kehidupan telah digariskan Yang Maha Kuasa

Ujian pun rintangan kan selalu ada

Ikhtiar dan sabar sebagai kunci kehidupan

Tuk takdir yang tergariskan


Kehidupan hanyalah fana

Hirapkan segala jejak-jejak asa

Terpatri untuk selalu meminta

Sebab kepadaNya kita bermula


Sederet nyawa melahirkan ruang asa

Tercukupi cinta dengan tatapan bahagia

Pun terkurangi realita dengan segala kecewa

Takdir, semesta tidak mempermainkan kita


Ruang Harap, 15 Juni 2021


Ikhlas

Oleh: Siti Azizah, dkk. 


Sarayu berbisik lirih

Kala swastamita alunkan melodi sedih

Iringi langkah nan tertatih

Kucoba ikhlas walau pedih


Kujalani sisa-sisa senja dengan liris

Menemui petang berkubang tangis

Malam tak lagi bisa ditolak

Berselimut mendung duka yang pekat


Pernah ingin menyerah bukan karena keadaan

Namun entah mengapa setiap langkahku menggapai mimpi terasa sangat melelahkan

Meskipun ada mereka yang selalu berjalan bersama

Perjuangan yang kuanggap telah usai, ternyata hanya selangkah dari seribu langkah menuju impian di singgasana raja


Teriring tirta netra basahi sajadah

Menjelma asa dalam untai do'a

Relakan ia yang sempat jadi semoga

Terima garis takdir pun lapang dada


Jalan Cerita, 15 Juni 2021

[Antologi Puisi Akrostik] Hewan




Lebah

Oleh: Ade Rifani


 Lambang kasih seorang putri pada raja; jika cinta tak harus dalam ruang rasa yang sama. Berbeda dalam lautan api asmara, tidak mematahkan tekad untuk terus melangitkan doa. "Tuhan tidak pernah tidur," cercanya. 


 Elegi menghiasi banyak aksi yang mulai mengikis seri dalam pipi. Menghadirkan perih pada ujung sanubari penuh duri. Perihal prasangka tak berarti mulai menghampiri.


Balutan tawa terhirapkan harapan tanpa kepastian. Melenggangkan ingatan dalam ruang kenangan yang tersimpan. Di ujung bilik kedap suara yang meredam banyak tangis penuh tragis.


Asmaraloka terajut benang-benang kasih suci yang terikat oleh janji. Sepasang anak manusia berikrar menjadi pasangan kekasih. Untuk bahagia; kini hingga nanti.


Habisnya masa eliminasikan elegi, berbaur dalam samudera imaji. Terlanjur cinta membuat hati lupa diri. Perihal rasa tak dihargai, pun hasrat ingin memiliki.


Bandung, 17 Juni 2021


Siput

Oleh: Shajar


Segala harap,

Ingin kutuangkan tanpa paksa

Pada setiap bait aksara

Untuk sekadar renungan di masa mendatang

Tanpa lagi harus bertanya-tanya mengapa?



Sigli, 17 Juni 2021


Kelinci

Oleh: Qonitia Lutfiah 


Kerap kali pilu itu kembali menghampiri hati yang telah lama menahan untuk tak mengingatnya lagi

Elegi seakan melompat-lompat kesana kemari saban hari tanpa permisi layaknya kelinci

Lambat laun rasa itu memudar hingga dapat menerbitkan setitik harsa yang selalu kucari

Ironi hirap dalam langitan usaha dan doa yang tak pernah putus dipanjatkan tanpa henti

Nanti akan kupastikan bahwa itu cukup menjadi pembelajaran di masa yang sulit untuk kujabarkan

Cinta yang sesungguhnya tak pernah menyakitkan bagi siapapun yang selalu menerima apa adanya

Ingin menerima apapun kekurangannya dan selalu menjaga dalam bait-bait doa 


Lampung, 17 Juni 2021

[Antologi Puisi] Utuh tapi Rapuh



Terjebak Rasa 


Sejuta aksara dan tanda bacaku mati

Tenggelam dalam harap yang sekarat

Dengan belati yang hampir menggores nadi

Haruskah aku akhiri?


Kaki melangkah yang tak kenal arah

Satu demi satu segala asa runtuh

Berdiri atas nama cinta yang semu

Kini rindu berujung pilu


Berwaktu waktu aku mengasuh rasa 

Memendam cinta yang tak biasa 

Dan aku bertanya pada diamnya semesta 

Adakah hati yang tak bisa luka ?


Andai semua berlalu tanpa ada rasa yang semu

Andai kenangan melipir menjauh

Saat ini aku takkan terjebak rasa yang semu

Menggenggam rasa tak berujung untukmu


Ragaku utuh ,hatiku rapuh 

Cinta membuatku jatuh 

Seluruh atma menjebak diri 

Atas nama rasa segalanya pergi


Tuhan ajari aku untuk memahami

Cinta tak melulu berujung memiliki

Bagaimana cara mengiklaskan

Tanpa menaruh rasa berkepanjangan


15 Juni 2021


Oleh 

1. Sintia

2. Andi

3. Mifta

4. Alfiya

5. Murlin Andaka

6. Ramlan

 


Rindu yang Utuh dengan Segala Kerapuhannya


Pagi ini aku termenung menatap ilalang

Angin dan gersangnya menyelimuti keindahan

Sementara aku masih bersama bayang-bayang

Yang menitipkan hal berupa kerinduan


Kerinduan yang rapuh berbalut kenangan

Yang menghangat bersama sisa rintik semalam

Ahhhh, ini benar membinggungkan

Apa rindu ku selama ini tak tersampaikan?


Hati ini tak lagi utuh

Setelah penghianatan yang menjadikannya runtuh

Bualanmu tentang indahnya Jogja tak lagi tersimpan sebagai bentuk cinta

Juga kisahmu yang menyakitkan bersamanya


Kau menyuguhkan ruang bernama patah hati 

Menjebaknya diantara buaian semesta 

Yang tersisa hanya kepulangan elegi 

Bak patahku yang menjadi bahagiamu


Tidak semua keruntuhan adalah kekacauan

Terkadang ia tersimpan sebagai kebaikan

Dan airmata adalah ornamen terkuat yang tersusun dari beberapa rasa

Tentang kita yang pernah utuh dan berakhir rapuh


Lebih baik aku terluka ketika tanganku merangkul rasa malu 

Daripada aku membantu tanpa pernah mencoba melawan rasa kaku

Lebih baik aku terhina ketika wajahku teriris badik masa lalu

Daripada aku terbuang tanpa pernah mencoba melangkahi jurang rindu


Ruang Hampa, 15 Juni 2021


Oleh

1. Mardhiah Hayati

2. Zakiyatul Arifah

3. Rizqi Tarinda Putri

4. Glady Anliza Syaharani

5. Ira Rianti


Retak


Terbayang akan angan

Terbuai oleh ayunan kata

Hanya dapat meneguhkan 

Menguatkan qalbu yang tersentak


Maaf,

Suatu ruang menentang realitas,

Menyisipkan bait-bait derai tanpa batas,

Redum yang selalu saja terjepit diam-diam,

Kini telah menggebu tanpa salam.


Rupanya atma kian memudar

Sendu bersama senja

Tak sedikit pun berfikir

Membawa sederet kisah penuh luka


Menyelinap sehembus angin

Menerpa relung mata batin

Menimbulkan pedih

Menumbuhkan sebutir peluh



Aku tidak ingin lagi peduli,

bekas-bekas nya terus saja kau gali.

Mungkinkah kisah arkais yang kau ciptakan sendiri



Atau kesalahan yang kau tangisi?

Alunan nya menyibak 

Menumbuhkan retakan

Membuat relung berhamburan


Oleh

Alfarisi

Abdul Rozaq

Muttaqina Imama

Siti Soehah

Rida Nuriyah

Imelda Trisna Rahayu

[Antologi Puisi] Warna




Tritanomali


Oleh Yurna Jingga Sitara


Menguak dua garis bulu matanya

memangsa langit

sketsa tumpukan titik mamayung

mewarna bahasa

meranum di pucuk ingin


Kata mereka ia bagian dari ajaib 

dari sejuta populasi manusia 

pernah, 

dilukisnya rerumput menjadi biru


Sayang, 

semua seteru

di manapun tak ia temukan biru


Irisnya terhiris

pupilnya terjerembap

tengadah retinanya


Ah, 

Tubuhtubuh ini padang

samudera bak negeri sendang

nganga alam tak sampai terserap syaraf 


Ia hanya pelukis api

bagi tubuhtubuh ilalang

binarnya sunyi

tak terjual di pasarpasar


Ini pengaduan yang sesat

tak ada obat

bolabola matanya berakrobat


Jika aku menjadi cermin

Inginku memantul cahaya baginya,

jika aku menjadi kuntum

inginku, hanyut dalam persepsinya


Benteng heningku//17 Juni 2021



Memori Kelabu

Oleh Muttaqina Imama


Ku ingat kamu si holakalus yang kuterka,

Afsun yang melekat erat dalam Atma. 

Sebutku candramawa, 

Si pembuat bahagia sederhana.


Sedari kerap ku anggap kamu biru, 

Si pencipta senyum tanpa ragu. 

Ternyata itu bukan asli dari siapa kamu,

Yang tetiba menjadi kelabu,

Yang begitu membingungkan ku.


Tolong,

Jangan lagi kenalkan aku dengan harapan,

bukan pula libreto,

Yang dengan mudah kau anggap sebagai seloroh,

Sebab, ini bukan menyangkut impresi,

Tapi disuasi hati.


Alap kataku!

Kau berdayuh, berkata kau telah dihianati;

Dari kisah yang kau hancurkan sendiri.

Tak ada rasa ku ingin membenci, hanya kecewa yang mengakhiri.


Iya benar, saya hanya bintang yang telah dilalap gelapnya malam oleh kamu yang tak pernah benar-benar mengharapkan pertemuan.


Shin 2021



Lukisan Wajahmu

Oleh Muhammad Fauzan Cahyoko 


/1/

Lukisan wajahmu yang miring setelah diluruskan bukan lagi topik seputar mengapa harus paku itu yang menjadi gantungan padahal miringnya sudah berulang-ulang membuat kekhusyukan penikmat menjadi terganggu sebab warna dari canggung, senang, dan sipumu menjadi sulit terbaca. 


/2/

Meskipun begitu, aku tetap memilih paku itu karena tanganmulah yang memutuskan seberapa pantas untuk dipalu hingga menjadi gantungan lukisan yang entah mengapa aku bahagia melihat ekspresimu, semua warna ada di lukisan wajahmu. 


/3/

Dan ketika kau menyuruhku menghapus tinta di kanvas yang kulukiskan wajahmu, aku terpuruk. Pagi, siang, dan malamku terlihat sia-sia seperti pelukis yang bimbang hendak menggradasi warna mana lagi agar terlihat pandai mengeksekusi. 


/4/

Terpaksa, aku cabut paku yang kau putuskan waktu itu. Lalu mengambil lukisan wajahmu yang sudah lelah kulukis indah-indah. Lantas melunturkannya dengan air mata. Kuupayakan penuh agar harapanmu tentang akhirnya hubungan kita seperti pelukis yang buta warna. 


Yogyakarta, 17 Juni 2021

Senin, 14 Juni 2021

[Quotes] Korupsi

 


Di era reformasi, setiap regulasi ditundukkan oleh rayuan korupsi hingga sudah menjadi hobi. 

Aski~


Di tanah lapang menjanjikan kemakmuran.

Di meja sidang menuhankan kepentingan.

Terima kasih tuan dan puan, telah mewakilkan kesejahteraan rakyat pinggiran.

Muhamad Zaenudin~


Taktik penuh janji, nyatanya jelmaan tikus-tikus berdasi. Harta kau dominasi rakyat kau apatisi.

Alfiya Yasmin~


[Puisi] Tentang Juni




Hujan di Kadung Rindu 


Langit begitu kelabu 

Saat rindu mulai menderu 

Awan menjadi bisu 

Saat hati dilanda rindu


Berderu luapan samudra

Menikam erat bersimpuh duka

Rindu yang kian mengakar

Biar tenggelam bersama angan


Kadung rindu sudah menjadi hujan 

Tiap tiap juni adalah kenang 

Kadung rindu sudah menjadi hujan 

Tiap tiap juni adalah mengingat kehilangan


Juniku menjadi saksi

Tentangmu yang pernah singgah di hati

Tersusun rapi dalam memori

Hingga waktu mempertemukannya kembali


Bagaimanakah aku menuankan rindu yang dulu sempat mendekat

Langkahku yang lunglai sedangkan larimu teramat cepat

Kurangku tak terisi lagi dengan lebihmu yang hebat

Namun ketahuilah, maafku menyambutmu kembali dalam pelukan erat


Salam air mata di bulan juni

Untuk kamu yang kembali menjadi misteri

Ada tapi tidak untuk dimiliki

Menghilang untuk berharap kembali


08 Juni, 2021


Oleh: 

1. Naily Tazkiyyah S

2. Mardhiah Hayati

3. Andi Rusmana 

4. Yulia

5. Muhamad Zaenudin



Juni Kembali


Juniku yang kelam

Rintikmu kembali datang bertandang

Riak gemercik yang menyibak memori

Hadirkan sunyi; meniti sepi


Aku rindu pada hujan yang menahan kita pulang waktu itu

Dengan jaket basahku, kurangkul tubuhmu

yang semakin tidak karuan membisu 

Di depan ruko, kau berjingkat sebab aku membuatmu beku


Dan masih kukenang lagi memori bisu tentangmu kala itu.

Hanya hening saat kita tak berjarak.

Hanya diam yang menemani saat kita mendekat

Kita membeku, tapi hati ku menggebu.


Rintik sendu

Aku merindu

pada hujan yang menikam getir

Memberi kenangan, pada kisah yang tak pernah lekang


merawat luka-luka lama

mengemas tabah sedemikian rupa

di musim hujan

di tepi sunyi.


Dan ingatlah bulan ini

sampai juni mengingatkan untuk kembali,

maka kembalilah

ada hujan yang harus kau redakan

juga kata perpisahan yang semestinya kita lupakan



Bumi, 8 Juni 2021


Oleh: 

1. Nia Rahmawati

2. Eliyah

3. Sofia Dharmayanti

4. A. Firmansyah

5. Erma Suryani

6.Muhammad Fauzan Cahyoko



Alunan Rindu pada Juni


Juni berlabuh

Harsa pun luruh

begitu pula rindu

nan sedang berlabuh


Alunan lubuk mendayu

Dikibas serayu

Pada Juni kini berpangku

Melankolis berirama merdu


Percik hujan lebat diperaduan malam

Juni membuatku mengenang pada nuansa alam

Dengan tatapan indah membekam

dan menaksirkan lebih dalam


Rabas asa terukir di dada

Kandas oleh afeksi menggelora

Mengelabui akal tanpa jeda

Dalih lenyap alih redut atma


Larut dibuai amor nestapa

Lupa ranah tempat bermukim senja

Lupa tawang ajang pereka segalanya


Untuk menghiasi bulanmu aku tak lihai berkata syahdu

puisiku juga tak ampuh untuk membuatmu luluh

namun impiku mengantar untuk menarasikan ini tanpa meneluh


08 Juni 2021


Oleh: 

1. Aski aisyah

2. Mifta

3. Madu Kharisma

4. Nazario

5. Septia

Senin, 12 April 2021

[Antologi Puisi] Aku Ingin


Hamparan Sajadah

Oleh Qonitia Lutfiah


Saat tak ada lagi tempat berkisah, pilihanku hanya berserah di atas hamparan sajadah. Mengudarakan senandung doa agar basirahku merasa lebih tentram. Mengadu padaNya mengenai sekelumit masalah yang membuat galabah. Sebab kuyakin berharap padaNya tak akan berakhir kecewa.


Meski aku harus menunggu untuk jawaban dari segala semoga. Aku akan setia menjadikan sajadah untuk tempatku pulang. Menjadi saksi atas air mata yang tak kutumpahkan pada manusia. Pun saksi atas perbincanganku bersama Sang Pencipta.


Melalui kenyamanan yang disuguhkan membuatku menjadi betah untuk mengadukan segala cerita. Mulai dari kisah harsa hingga kisah yang berujung luka. Terima kasih telah menjadi tempat pulangku yang memberi ketenangan ketika mengadu kepada Tuhan. Hingga aku tak dapat menjadikan manusia sebagai tempat yang memberi pelukan.


Lampung, 8 April 2021



Aku Ingin, Namun Enggan

Oleh Ananda Mella


Suatu malam, kesedihan memelukku dengan erat hingga menyesakkan dada, sendirian, tanpa siapa-siapa, bahkan Tuhan; pikirku. Aku tidak tahu mesti bercerita pada siapa, aku kehilangan semuanya.


Aku ingin pulang, namun enggan, rumahku hilang fungsi, keluargaku lupa peran, kehangatan tak lagi ada di dalamnya, dingin, dingin sekali.


Namun sesak jika terus kupendam, lelah jika terus berjalan tanpa arah, aku butuh peluk, itu saja, tak apa tak lama, sungguh, aku ingin pulang dan menumpahkan segala ceritaku seperti kebanyakan anak pada umumnya.


Bogor, 21.04.08



Aku Ingin Menetap

Oleh Rosmalina


Aku masih menetap, tidak ingin beranjak barang sejenak. Lukaku tak lagi parah namun masih meninggalkan jejak dan diam adalah keputusan yang tepat.


Bukan nyaman pun tak dikenang, hanya saja patah membuatku tak ingin dikenal. Sulit rasanya memulai dan bila tepat tak bisa meninggalkan.


Aku tak ingin mencari tempat untuk pulang, biar saja Tuhan menentukan. Sekarang lebih dari cukup untuk dibanggakan, hanya saja kau mungkin aku butuhkan.


Ruang rindu, 8 April 2021

[Antologi Puisi] Waktu




Garis Waktu Persahabatan

Oleh: 1. Lia Nisrina 

           2. Nabila Ramadina

           3. Ananda Mella


Setiap detikku tak pernah hambar dan sunyi

Kau membuatku tidak takut manjalani hari

Meskipun beragam duri menghampiri 

Bersamamu, semua itu terasa mudah kulalui


Kita serupa tubuh

Salah satu jatuh, sama-sama merasa rapuh

Saling menguatkan untuk sembuh

Kemudian memeluk rindu yang utuh


Hadirmu bagai kesucian yang menghapuskan debu

Hingga aku mampu dan sangat mau berkorban untukmu

Melindungimu, menggenggam tanganmu, menyemangati dan menyinarimu,

Karena akupun tahu, kamu akan melakukannya untukku


Sahabat, aku tidak ingin hubungan kita pegat

Teruslah saling memeluk dengan erat

Jika kesalahpahaman datang menjerat

Hadapi dan yakinlah, bahwa hal itu hanya sekadar lewat


Tanah Air, 6 April 2021




Naungan Waktu

Oleh Leon Dwi Putra


Langit yang menguning

Membuatku tak ingin berhenti menghening

Kisah indah kita yang dulu

Takkan pernah sirna, meski di telan waktu


Kini, temu adalah hal yang paling aku inginkan

Segala rindu tentangmu

Telah kubaitkan dalam buku

Mendalam, dalam sanubariku


Di manakah bisa kutemukan kamu

Selain dalam mimpi

Selain berkunjung pada pusaramu

Sungguh, aku rindu segala tentangmu


Sahabat..

Jika saja aku bisa memintamu kembali 

Jika saja Tuhan memberiku syarat atas kembalinya kamu

Aku akan melakukannya


Tetapi, pada akhirnya aku sadar

Bumi beserta isinya tidak abadi

Yang hidup akan mati

Yang berjanji selalu bersama, akan pergi


Indonesia, 06 April 2021



Ujung Temu

Oleh Kelompok D 


Kala malam telah redup

Dan cahaya terang mulai menghilang

Asap kabut mungkinkan menyerang

Pun ketakutan kan menggelapkan


Asa merasuk dalam kalbu

Tapi tak seorangpun yang merasakan syahdu

Getar jiwa mulai mengadu

Lalu berteriak menjadi satu


Saat suasana lagi sendu

Ku selalu bersua dihadapanmu

Bicara sesuatu yang aku tahu, dan kamu bercerita tentang hidup yang kelabu


Jika kau tahu, betapa sungguh

Sesungguhnya kalian yang aku rindu

Di saat kenangan menjelma menjadi bayang yang kini kian terngiang


Ku lepas tawa bersama dengan hati utuh 

Bahwa cinta bukan hanya hanya soal rasa, tapi ini tentang kita disaat bersama. 

Kau pada saat nanti yang akan menjadi saksi 


Tertulisnya kisah hidup di atas kertas bertintakan rindu,

Kau yang menjadi sebab alur cerita hidup semakin menarik, kaulah sahabat.

Dan akan kah kita seiya sekata, sobat? 


Ruang Kita, 6 April 2021