Senin, 30 Maret 2020
Puisi | KARAM Oleh Az Zahra Firdaus Syachputri
cakrawala hendak senja
saya mendayu, mendayung perahu
dari hilir, dibawa alir. menyusuri air
tuan, sungai tadi adalah kamu
dan layar ini berhasil menangkap bayu,
lalu perahu menyelisik ke pedalamanmu
merayapi tepian masa, mendayu kehilangan suara
sehampa ini merajut jaring–jaring bahagia
buta, rupanya bukan hanya saya yang ingin menebar jala
berbalik pulang seakan harus, berat nian melawan arus
netra berkeluh, menahan air tidak jatuh
saya nanar, dayung saya lempar
bulir tak ubahnya kian mengalir
sore hari hampir tenggelam
di muara sungaimu. bersama aku yang karam
Lampung, 27 Maret 2020
Puisi | Tempat Istirahat Oleh Sarah Aisyah
Kau yang awalnya ditiup angin, yang dibawa arus, yang melaju menjauh
Memanggil manggil orang seorang
Namun tak ada siapa-siapa yang mau memegang
Kau yang telah babak belur, yang terjun puluhan kali, yang hancur tak berbentuk
Sampailah kau di ujung tapi bukan akhir perjalanan
Jeda sebentar, tarik napas
Kemari dan minum sesuka hati
Setelahnya ada banyak halang-rintang
Muara tak akan menjadikan kau kekasih
Di sini bukanlah tempat menetap
Di sini ikan kecil tak akan besar
Dan kau tak akan bersinar
Ada sorak sorai dari bahari yang elok sekali
Sedang batang air melambai-lambai di ujung hilir
Sedang muara enggan dijadikan gerha
Cepat-cepat waktunya terbatas
Amunisi jangan sampai habis
Segala halnya akan segera tuntas
Tasikmalaya, 27 Maret 2020
Puisi | Muara Rindu Oleh Tiara Agil Salsabilah
Muara rindu
Bayang-bayang yang kelabu
Mengumpulkan harapan baru
Rindu, kenapa selalu bermuara dalam pikiranku?
Kenangan waktu itu membuat ingin bertemu
Masa lalu tambatan hatiku
Segala tentang kami mengalir begitu derasnya
Membanjiri isi kepala
Mengingat besarnya cinta yang menciut begitu saja
Muara rindu
Kapan hati ini mengerti?
Bersama tanpa waktu yang membatasi, tanpa takdir yang memisahkan kami, itu hanyalah imajinasi
-Kediri, Maret 2020
Puisi | Menghadang Jalan Berliku Oleh Kelompok 2
Menghadang Jalan Berliku
Aku berdiri dalam pentas buana
Kadang terhuyung hilang kendali
Meraba ekspetasi yang tak lagi sama
Memboyong pijakan kemudian jatuh kembali
Hingga nyaris kehilangan jati diri
Aku menerka tiap inci kehidupan
Berliku-liku dalam jurang kepahitan
Mencari celah untuk tetap menggenggam kebahagian
Sedang waktu yang tak tentu, aku sendirian
Mencoba bertanya pada semesta arti sebuah kemenangan
Gonggongan anjing bersahutan di telinga
Nyaring suaramu menghantam dada
Meminta mundur, meminta menyerah
Teriakan hujat menghujani bak panah
Dan kau kira, aku akan berhenti?
Tertawalah kalian, aku 'kan tetap berusaha
Menggapai segala cita
Yang telah kuukir sedemikian rupa
Dalam takdir yang terus menggoyah nyata
Dalam renungan yang tertata
Berbahagialah kalian yang telah menginjak lukaku
Telah ambil bagian dalam ceritaku
Kelak aku akan bercerita setelah di puncak sana
Tentang duka yang berhasil kutepis tanpa sisa
Kelompok 1
Titik penerang, 24 Maret 2020
Yange mengerjakan
1. Ali Nrd
2.@Wulan PI
3. @Mel PI
4.@Alfin@Alfina PI
5. @Amel
Yang izin
@Alvia PI
Puisi | Menapaki Terjal Oleh Kelompok 4
Menapaki Terjal
Dunia sedang berduka
Berjuang lepas dari nestapa
Melerai tubuh dengan naluri
Walau bukit curam sulit didaki
Tak patah arang sang diri berempati
Ini bukan sekedar kerikil
Angin yang membawanya terbang
Mampu hantam organ dalam
Walau hanya makhluk kecil
Namun mampu tentukan batas waktu
Rintangan datang tak kenal masa
Bermunculan ragu dan saksi palsu
Situasi keruh penuh ancaman tiap waktu
Seakan tameng tetapi justru memangkas sesuatu
Bertindak sesuka hati tak tahu malu
Nyawa demi nyawa terenggut
Kesedihan terus berlarut
Langit terus menangis
Meratapi bumi tak lagi harmonis
Akibat ulah manusia yang hati nuraninya semakin terkikis
Kelompok 4
Ruang Imaji, 24 Maret 2020
Yang mengerjakan
1. Andre
2. Aristya
3. Arni Hanan
4. Ayu setiawati
5. Asfina Salma
6. Annisa Qurrata A'yun
Puisi | Merangkaki Terjal Oleh Kelompok 1
Merangkaki Terjal
Kelompok: 1
Hembusan angin malam datang menikam
Dingin menusuk rongga jiwa begitu kejam
Bermacam warna kelam datang beriringan
Menimbun derita usang berakhir penyesalan
Tinggal aku sendiri berselimut takdir yang kusut
Hingga di ambang malam yang curam
Seribu batang angin kudiang hingga hilang
Bulan di atas tertawa menelanjangiku
Biarlah kubakar segala sesal yang bersarang
Tinggal aku dalam riuh riang tawa bulan
Bersama gemintang cemerlang
Berseru dalam teriakan sendu kalbu
Jejak langkah diiringi luapan rintangan
Menuju secuil celah
Memilah jalan aman
Di sepanjang terjal ini
Kubahasakan segala sesal yang bertunas ganas
Gemintang yang lajang menuntun aku pulang
Berharap kegelapan dihempas penuh kilauan
Menuju akhir tanpa sesal isakan
Pada langit malam penuh kejutan
Menutup cahaya putih sebagai peringatan
Mengingatkan nurani akan keterjalan
Dunia kelam akan keputusasaan
Sandarkan berbagai keadaan dalam suatu pilihan
Mencoba 'tuk lalui kegamangan
Merangkaki segala terjal
Bertumpu pada puing-puing
Hingga perlahan kutemukan sebuah pendar
Dapatkah kuraih dengan sisa kelam ini?
Forum Daring, 24 Maret 2020
Yang mengerjakan:
1. Ahlul Aqdi
2. Agnesia Salimba
3. Ade Siyanti Nurul Hidayah
4. Adelia Rahmi
5. Afiatur Risqiyah
Yang izin:
1. @+62 838-5014-1397
Minggu, 22 Maret 2020
Rampung | Sarah Aisyah
jauh sebelum dunia berkabung, terpenjara maupun terisolasi. duniaku sudah lebih dulu menyepi. tak ada hingar bingar, yang ada hanya kutukan yang melingkar. sekarang sama saja
sudah berakhir. segala gundah ada masanya, segala suka cita hanya sementara. dan aku telah menjadi bara
yang habis terbakar. hitam jelaga. tak ada guna. hanya menunggu waktu terbang
dinding-dinding telah kususun rapi, berjajar berderet. tinggi menjulang. tapi aku takut sepi. dan tak ada yang mengerti. aku takut sepi, sekali lagi. tapi tak ada yang mau mengajak pergi.
tolong, gugurlah satu persatu duri yang menekan dadaku. sebab telah rampung segala beban.
Tasikmalaya, 20 Maret 2020
Membahasakan Titik | Ahlul Aqdi
Semua diawali dari sebuah titik. Langkah awal dari segala hal, langkah kecil yang mampu menjadi besar. Pada titik tersebut, keberanian kita lebih ganas dari segala keraguan yang bersarang. Di titik tersebut, kita telah menyatakan perang dan menantang hal buruk yang akan datang.
Membahasakan titik berarti kita berbicara dengan kehidupan. Lalu beberapa pertanyaan tersangkut di jendela. Apa yang lebih setia dari sebuah titik? Meski berada paling ujung dalam barisan pertanyaan, nyatanya paling depan dalam menunggu dan menyambut semua jawaban. Terjawab atau walau tidak terjawab.
Meski berada paling belakang dalam susunan seruan, tetapi paling sejati dalam menerima segala tanggapan. Terbalas atau walau tidak terbalas. Apa yang lebih diam dari diamnya sebuah titik? Kecil dan dianggap kuman. Namun, dari segala mata angin yang mengalir di berbagai hilir. Titik adalah unsur paling dasar yang menyusun ruang paling lebar; kehidupan.
Juga semua ujung dari segala arus ditutup dengan sebuah titik. Bukan sebuah persimpangan atau lorong sempit, tetapi tanda kecil yang menghentikan segala laju dan proses bahkan hal besar sekalipun.
Tapaktuan, 20 Maret 2020.
Titik Terakhir | Alvia Duz Jannah
Titik di sini bukan tentang noktah pada huruf ataupun tanda baca. Bukan pula pada ukuran tipografi yang katanya sebesar 1/72 inci.
Namun titik di sini adalah akhir dari sebuah kisah, pelabuhan terakhir dari kisah yang panjang. Karena manusia terkadang lelah dengan apa yang mereka lakukan, mungkin sekarang aku tengah menjadi manusia itu.
Tentang cinta seharusnya diperankan oleh dua jiwa, namun dalam kisahku tidak begitu. Aku menjadi pemeran tunggal dalam dimensi imajiku sendiri.
Cukup, aku ingin berhenti. Bukan berarti aku tak ingin tuk mencinta lagi. Namun ada hati yang seharusnya aku jaga agar tidak kembali patah hati yaitu hatiku sendiri.
Mungkin ini akan menjadi titik terakhir, titik di mana aku tidak akan merubahnya menjadi sebuah koma, bahkan tanda tanya. Aku benar-benar ingin berhenti untuk mencintaimu.
Sudah sampai di sini, aku akan berhenti.
Kota Nanas, 20 Maret 2020
Hilang Bersama Harapan | Arinilia
Mamah
Hadirmu begitu berarti dalam hidupku
Mengukir memori penuh suka dan duka
Melukis cinta yang indah dalam kehangatan
Mamah
Kini sudah tak nampak lagi di pandangan
Hadirmu menghilang karena suatu petaka
Menghilang bersama harapan yang telah kulukis indah
Harapan yang terus ku kembangkan
Kini mulai mengikis sedikit demi sedikit
Menghilang seperti hadirmu
Sakit terus menyiksa batinku
Berharap kamu datang kembali
Bersama harapan yang telah ku bangun
Harapan yang indah ingin ku ukir bersama
Sungguh indah seperti senja di sore hari
Andai
Waktu dapat kuputar kembali
Aku ingin kembali menyelesaikan harapan bersamamu
Harapan yang indah dalam sebuah angan
Tapi
Semua sudah terjadi
Yang lalu biarlah berlalu
Kehilanganmu adalah takdir ku sekarang
Hilang bersama harapan yang telah ku lukis
Jakarta, 6 maret 2020
Lembaran Kenangan | Tria Aulia
Ratusan jiwa yang terlahap bencana
Tanpa mau mengikutsertakanku diantaranya
Hanya menyisakan duka menyambut kehilangan
Ingin kuceritakan beberapa rimahan kata
Mengisahkan duniaku kala bahagia
Namun wajahku tak mampu mencari celah
Garis derita tergambar jelas disana
Dunia tak memberi ruang celah bagiku
Untuk menikmati sisa puing kehidupan
Mengapa tak satu pun berpihak padaku?
Bahkan dunia pun tak mendengar jeritanku
Aku terpaku menatap riuh keramaian
Seolah dunia tak lagi memihak
Semilir angin rindu menerjang hebat
Menghujam dadaku yang kian menyesak
Menikmati malam kelabu yang penuh rindu
Mengingat sekelebat bayangmu yang kian memudar
Merunduk bersama sepi yang menggerus hati
Hidupku kandas terlahap maut yang memilukan
Bersama langit kutengadahkan wajahku
Bersama bulan kupekikkan suaraku
Bersama bintang kukaitkan jiwaku
Bersama alam kusatukan ragaku
Medan, 6 Maret 2020
Telah Menjadi Abu | Sarah Aisyah
Sedang pohon cinta telah luruh
Aku memeluk candra supaya tak jatuh
Namun kaulah supernova yang akbar
Kita adalah fana
Yang kekal Tuhan semesta
Agenda kita bersua di depan rumah
Realitanya berparak di persimpangan
Kita adalah disparitas
Terbentang sehasta, sedepa
Lantas berakhir di dua kutub kontras
Dan melebur menjadi buih
Akan kuambilkan kau pelangi
Namun kau suka gelap gulita
Akan kubuatkan kau puisi
Namun ternyata kau niraksara
Tidak ada cinta yang sederhana
Ia rumit, bagai algoritme
Pun serapuh rumah laba-laba
Yang seperti kita
Sekuat apapun harap dipegang
Ia akan putus dimakan rayap
Sudah sedari lama, kau menjadi semestaku
Tapi sejauh mana pun, di matamu aku bukanlah yang istimewa
Tasikmalaya, 06 Maret 2020
Hipogram_Cinta Laki-Laki Biasa_Annisa Qurrata A'yun
Sejak kata sah terucap di hari itu, aku merasa menjadi lelaki yang paling bahagia di dunia. Mendapatkan hati seorang wanita cantik dan pintar sepertinya. Aku tahu banyak pihak yang terheran bahkan tidak menyukai pernikahan ini. Orang tuanya pun ketiga kakaknya sangat melarang keras. Bahkan jika mereka tahu kedua orang tuaku juga merasa sangat tidak percaya bahwa anaknya ini dapat mempersunting seorang wanita cantik jelita dan pintar seperti Nania. Yang pastinya aku tidak ada apa-apanya jika dibandingkannya.
Aku tahu Nania bahkan tak dapat menyanggah pertanyaan kenapa dari setiap orang, setiap kali dia mengantarkan surat undangan pernikahan kami saat itu. Belum lagi di saat Nania terlihat tertekan hingga membuat pipinya bersemu merah dan mata yang berpijar bagaikan lampu neon lima belas watt. Aku melihatnya dari kejauhan ia seperti sudah memikirkan banyak kata sanggahan, namun hingga beberapa saat menunggu pun Nania tetap tak dapat mengeluarkan suaranya. Sungguh aku tak marah padanya. Di sini akulah yang seharusnya sadar diri karena aku belum dapat menjadi lelaki yang tepat baginya. Jika kalian tahu Nania bukanlah gadis biasa. Dia cukup sempurna bagi diriku.
Hanya lelaki biasa dengan kepintaran standar dan hanya memiliki cinta untuknya. Dari keluarga biasa, kedua orang tuaku bukan orang kaya. Ayah yang bekerja sebagai pegawai kantor dengan penghasilan seadanya dan Ibuku seorang ibu rumah tangga merangkap sebagai pedagang nasi bungkus di halaman rumah, memiliki dua orang adik yang masih membutuhkan tunjangan biaya pendidikan. Pendidikanku pun biasa sebatas tamatan SMA dan langsung mencari pekerjaan dengan alasan tak ingin merepotkan orang tua. Serta pekerjaan dan gaji yang amat sangat biasa. Dan kini kami menikah, walau yang kutahu Nania terus terganggu dengan pertanyaan orang mengenai alasannya mau bersama membangun rumah tangga bersamaku.
Setahun kami menikah.
Masih banyak orang yang membicarakan kami karena ketimpangan ini. Banyak yang masih meragukanku dan diriku masih saja merasa kurang pantas untuk Nania. Intinya mereka terus saja menuntut alasan Nania yang mencintaiku. Sedang diriku hanya dapat memberikan cinta dan kasih sayang tulus untuknya. Aku terus bekerja keras agar bisa membahagiakannya.
Tahun kelima pernikahan kami membuatku semakin ingin bekerja keras. Kami telah memiliki dua orang anak yang sangat lucu. Satu laki-laki dan satu perempuan. Setiap kubekerja semakin Keras Nania selalu mengingatkanku untuk tak memaksakan diri. Dia selalu bilang tak apa untuk menggunakan setiap uang dari penghasilannya. Tapi aku jelas menolaknya. Bukan karena aku terlalu gengsi atau bahkan merasa disepelekan. Tidak sama sekali. Aku hanya ingin tetap memiliki tanggung jawabku sebagai seorang suami dan ayah bagi Nania dan kedua anakku.
Walau aku telah bekerja keras orang-orang yang melihat kami masih saja mempertanyakan alasan kenapa seorang Nania mau bersamaku. Terus saja mereka mempertanyakan hal itu pada seorang Nania istriku, namun nyatanya wanita itu tak juga memberi alasannya.
Yang pasti Nania mencintai Rafli. Itu jawabannya ketika ketiga kakaknya terus mendebatnya perihal diriku yang kalah sukses dengan karir Nania.
Tahun ketujuh. Di mana karir Nania terasa sedang di masa keemasannya. Dia menjadi semakin sukses. Dia pun tak pernah lagi ambil pusing atas tuntutan alasan mencintaiku. Aku yang masih saja berada di tahap biasa saja pun hanya akan terus memberikan kenyamanan bagi seorang istriku.
Tahun kesepuluh. Nania mengandung anak ketiga kami. Aku yang bahagia selalu memperlakukannya dengan sangat istimewa bak ratu. Hingga masa ia melahirkan. Ada sebuah kesalahan. Bayinya tak kunjung menandakan akan keluar setelah diberi beberapa obat untuk mempermudah pun masih saja belum bisa. Akhirnya dengan jalur operasi bayi itu dikeluarkan. Bayinya keluar dengan selamat, namun tidak dengan Nania yang harus menghadapi masa kritis karena pendarahan yang hebat.
Aku tak sedikit pun beranjak meninggalkannya dalam masa itu. Aku terus berada di sisinya kecuali di waktu sholatku. Aku terus memohon akan kesembuhannya. Walaupun semua orang terus saja mengatakan untuk mengikhlaskannya. Dan doaku terkabulkan Nania sadar dari masa komanya. Walau akhirnya dia lumpuh aku tak pernah sama sekali memikirkan untuk meninggalkannya.
Kini setiap orang yang melihat kami masih saja berbisik, namun yang kutahu bisikan itu telah berubah arah. Bukan lagi Nania yang ditanya kenapa. Kini berbalik padaku, banyak yang mempertanyakan apa alasanku masih mempertahankan Nania.
Dan yang aku sadar hubungan kami berdasar cinta. Kami tak perlu memikirkan banyak hal. Karena sesungguhnya tak butuh alasan untuk mencintai.
Kumpulan Qoute Para Pemenang_Paradigma Imaji
"Dosa itu ibarat hantu. Semakin kau enggan belajar, semakin kau dikejar." @septamilasari_n10
"Semua orang berlomba menjadi nomor satu, sedangkan aku berusaha menikmati peranku." @hai.nadia
"Karena akan selalu ada pisah di akhir temu, membuat celah hadirnya rindu." @hikmaa.14
"Aku ketakutan ketika melihat banyak makhluk di rumahku. Aku lupa bahwa aku telah menjadi bagian dari mereka." -Frilla Ainur Rahma-
"Jangan memandangku di depan cermin. Aku tak bisa berlama-lama menatapmu." -Lisda Roro-
"Aku orang ketiga antara kamu dan dunia. Dan aku datang tanpa aba-aba" -Ayu Setiawati-
Cerpen PoV 3_Pejuang Tangguh_ Ali
Pada dasarnya manusia tidak pernah bisa sembunyi dari masalah, pun lari dari kenyataan bahwa hidup bukan tentang menceritakan kebahagiaan saja. Ali dan Meisya, terpaksa menghentikan mimpinya untuk menjadi pemenang di perlombaan badminton untuk mewakili provinsinya. Betapapun pembelajaran serta latihan begitu keras telah mereka lakukan semaksimal mungkin. Mengubur angan yang selama ini menjadi patokan sebagai nutrisi semangat juang, harus menerima kekalahan sekaligus menepis kasar semua bayang-bayang mimpinya.
"Kali ini kita boleh gagal, Mey. Tidak untuk tahun mendatang." Ali mengusap lembut pundak Meisya yang kemudian terlihat murung. Seperti biasa, Mey mengangguk pasrah, pasalnya ini kali kedua mereka gagal memboyong dalam perlombaan ini. Ali merangkul Meisya dan menggiringnya dari tempat pertandingan. Dengan malas mereka merapikan barang-barangnya kemudian keluar dari stadion badminton.
Meisya dan Ali saling berjanji sejak kecil untuk menjadikannya teman duet dalam pertandingan ini. Keduanya memiliki tekad juga hobi yang sama. Mereka kembali masuk sekolah setelah beberapa hari diliburkan karena harus bertanding meski akhirnya gagal(lagi). Teman sekelasnya antusias menunggu kedatangan mereka didepan pintu kelas, menanyakan hasil dari pertandingan itu, membuat Meisya jengah lantas lari menuju bangkunya tanpa memperdulikan pertanyaan dari teman sekelasnya. "Kita kalah," ucap Ali pelan. Mendengar ucapan Ali, sontak membuat teman sekelasnya menggaruk-garuk kepalanya, ada juga yang menjambak rambutnya ada juga yang memberikan semangat. Karenanya bukan mewakili sekolahnya saja, melainkan mewakili provinsinya dalam pertandingan badminton ini. Meisya memilih menutup telinga, pura-pura tidak mendengarkan celotehan temennya, tidak sabar untuk segera pulang dan tidur sepuasnya.
"Mey, tidak hanya kamu yang bersedih, Ali juga merasakan hal yang sama seperti kamu. Hanya saja dia tidak memperlihatkan itu, karena dia masih percaya akan ada kesempatan lagi," kata Nia teman sebangkunya.
"Tapi, Nia. Aku malu..., Aku malu karena aku yang terlihat antusias dan menjanjikan ke semua orang kalau aku pasti menang. Tapi hasilnya ... Aku malah gagal." Meisya benar-benar merasa malu, karena tidak memberikan hasil sesuai apa yang dibicarakannya waktu sebelum bertanding.
"Aku yakin, kamu pasti bisa membuktikannya nanti," balas Nia kemudian memeluknya. Seperti biasa, kegaduhan mengisi ruang kelas. Ali menatap Meisya lantas mengepalkan jarinya sebagai pelantara memberi semangat. Meisya tersenyum paksa lalu memerhatikan kelakuan teman-temannya yang asik bergaduh. Sedikit mengobati rasa marahnya karena gagal menerima kemenangan.
Tidak seperti biasanya Meisya memilih diam didalam kelas pas jam istirahat. Sejak kapan dia kehilangan gairah untuk tidak melayangkan bola badminton? Bukannya dia bilang menembus angin dengan bola badminton itu bisa membuatnya tenang? Lantas mengapa tidak melakukan itu. Kericuhan terjadi diluar, sedikitpun tidak ia gubris. Sendiri menelan sepi rupanya sangat dibutuhkan ketika hati sedang gundah. Seperti di emut bumi, Ali sama sekali tidak ada niatan untuk menghiburnya. Mungkinkah memberikan peluang untuk Meisya agar mencerna bahwa kekalahan bukan untuk direnungkan. Meisya terpanggil saat salah satu dari temannya yang diluar meneriakkan namanya. Tidak butuh waktu lama Meisya keluar kelas dan mencari suara yang memanggilnya.
Meisya menyusuri lorong koridor menuju keramaian yang ternyata berada di depan mading.
"Mey!" Teriak Nia setelah melihat Meisya berjalan untuk melihat informasi di mading.
"Ada apa, Nia?" Meisya makin penasaran melihat mimik wajah Nia yang sumringah.
"Ada kabar baik untukmu juga Ali," jawab Nia yang langsung memeluk Meisya. Gadis yang disapa Ratu badminton ini menerobos kerumunan siswa lain yang masih menatap Mading. Matanya terbelalak juga raut wajah yang terlihat segar seperti orang pacaran yang di kasih kejutan oleh kekasihnya, benar-benar bahagia. Ali langsung merangkul pundak Meisya disamping kanannya. Persahabatan mereka ini tidak di ragukan dalam kebangkitan atas kesempatan yang di anggap tiada batas.
Ali dan Meisya berlatih sehari penuh dalam seminggu untuk ikut daftar lomba badminton tingkat nasional. Kali ini mereka tidak akan menyia-nyiakan kesempatan terbaik ini. Untuk memantaskan diri bahwa mereka mampu kembali berjuang. Mau di sekolah atau diluar sekolah mereka giat berlatih. Menganggap ini adalah kesempatan terakhir bagi sahabat sejoli ini.
Berkat gigihnya dalam berlatih akhirnya mereka lolos mewakili Indonesia untuk lomba badminton. Membuat mereka panik juga sedikit mengeluh, pasalnya biaya transportasi mesti bayar sendiri.
Ini menjadi kendala utamanya bagi mereka.
****
Hari senin, hari pelaksanaan upacara sedang dimulai. Semua siswa berbaris rapi juga memasang telinga kuat-kuat. Katanya akan ada pengumuman penting yang akan disampaikan oleh kepala sekolah. Banyak pertanyaan di benak siswa yang tengah mendengarkan informasi penting itu.
"Kali ini, saya akan memanggil dua orang dari kalian semua untuk maju ke depan," ucap kepala sekolah disela-sela pembicaraannya.
"Langsung saja, Meisya dan Ali silakan maju ke depan."
Kontan saja membuat telinga sang empunya tercengang. Ada apa ini? Apakah akan membahas tentang kekalahannya?
"Terima kasih kepada kedua siswa ini, yang selalu memberikan kemampuannya dalam prestasi olahraga. Saya akan memberikan alat olahraga sebagai tanda keuletan mereka dalam berlatih."
Meisya dan Ali sangat bahagia, karena telah mengapresiasi perjuangan mereka. Kemudian membuka isi bingkisan itu, rupanya isinya dua pasang raket.
"Tapi Pak, apa ada maksud lain dalam hal ini?" Ali angkat bicara ditengah kegugupannya.
"Tentu ada dong," jawab Bapak kepala sekolah sambil tersenyum lebar.
"Sudah siap semuanya?" Tanya Pak kepsek.
"Siap!" Jawab seluruh siswa yang membuat Ali dan Meisya terkejut sekaligus terharu. Pasalnya mereka semua berjuang mengumpulkan dana untuk keberangkatan mereka dalam lomba badminton tingkat nasional. Beberapa siswa membawa kotak kardus bertuliskan "izinkan pejuang tangguh tidak menghentikan semangatnya".
Meisya dan Ali kembali bersemangat, sekalinya gagal ada kesempatan datang yang lebih baik daripada sebelumnya.
Cerpen PoV 3_Yuni Cahyaningsih
Hentakan sepatunya terdengar nyaring karena gadis itu tengah berlari. Senyumnya mekar seperti bunga yang mewarnai musim panas Tokyo saat ini. Nyanyian ribut serangga dan suara lonceng angin mengiringinya dalam perjalanan menuju rumah, gadis itu benar-benar tidak sabar. Berlari cepat namun tetap hati-hati, hari ini akhirnya datang juga, dia tak boleh mengacaukannya. Langkahnya melambat saat gadis itu melihat seorang gadis seumuran dengannya, melambaikan tangan tanpa suara.
Keiko kembali mempercepat langkahnya, membuka gerbang rumah sembari berseru keras kepada sosok gadis yang masih setia berdiri melambaikan tangan dengan ceria dari seberang rumahnya, "Aya, akhirnya aku punya teman!" Keiko memberi jeda sekedar untuk mengambil napas dan tersenyum lebar. "Mereka akan kemari sebentar lagi. Ah, kita mengobrol nanti saja, oke?" Terlihat sosok gadis itu tersenyum ke arahnya sambil mengangguk semangat. Ah, sepertinya dia mengerti, pikir Keiko.
Suasana ruang tamu begitu ramai, terlihat sekali jika Keiko bahagia. Setelah berbulan-bulan beradaptasi, gadis berambut pirang itu akhirnya memiliki teman, mereka bahkan mau berkunjung ke rumahnya. Rambut pirang dan manik birunya adalah sumber masalah, ciri fisiknya yang berbeda dengan warga Jepang kebanyakan membuatnya sulit mendapatkan teman, mereka selalu memandangnya--aneh? Setidaknya, begitulah menurutnya.
Mengedarkan pandangan ke arah gadis-gadis yang tengah sibuk dengan cat kuku dan majalah fashion terbaru, akhirnya Keiko merasa menjadi remaja yang normal. Punya banyak teman yang bisa diajak bergosip, membicarakan lelaki tampan juga idola yang tengah digandrungi, model baju terbaru, ataupun guru-guru yang merepotkan di sekolah. Mungkin Keiko juga akan mengajak teman-temannya pergi ke pantai saat liburan musim panas nanti, pesta barbekyu juga terdengar menyenangkan. Ah, masa remaja yang indah.
Suara pintu yang terus diketuk tanpa jeda membuat kelima gadis yang sedang bercengkrama itu mengalihkan atensinya secara bersamaan. Memutar kenop pintu, Keiko menarik lengan si tamu dan membawanya ke ruang tengah. "Teman-teman, perkenalkan, dia Nakamoto Aya. Sahabatku." Teman-teman Keiko berpandangan satu sama lain hingga satu orang gadis berdeham seraya berkata, "Hai, Aya. Aku Hana." Gadis itu menunjuk ketiga gadis lain yang masih duduk dengan nyaman di atas karpet bulu tebal, "Ini Mitsuki, Usagi, dan Yoko." Aya menatap keempat gadis itu satu persatu lalu beralih menatap Keiko yang berdiri di sampingnya. Menggerakkan tangannya untuk memberi isyarat pada Aya, "Teman-temanku. Di sekolah." Aya hanya membulatkan mulutnya lalu mengangguk perlahan.
Aya menggerakkan tangannya, sesekali mulutnya menggumamkan satu persatu suku kata yang tak dimengerti oleh keempat gadis lainnya. 'Apa mereka baik?' Keiko mengangguk semangat menanggapinya, "Tentu saja!" Melirik pada kotak makan siang yang dibawa sahabatnya, keiko tidak tahan untuk bertanya, “Apa itu?”tanyanya sambil menunjuk kotak berwarna merah jambu itu.
‘Pudding’
Mata Aya terlihat berbinar saat Keiko membuka kotak bekal tersebut. Salah besar jika selama ini orang-orang selalu menganggapnya bodoh dan tak berguna. Buktinya dia bisa membuat pudding yang lezat untuk sahabat pirangnya, meski dengan bantuan ibunya di rumah. Hari ini Aya menangis meraung-raung meminta guru privatnya untuk pulang cepat agar bisa membuat pudding untuk si cerewet yang sangat ia sayangi. Satu-satunya orang yang mengulurkan tangan saat seluruh dunia seolah tak peduli dan berbalik memunggunginya. Satu-satunya orang yang merangkulnya dengan kata sahabat.
“Hanya satu? Teman-temanku ada banyak. Aku akan membaginya dengan mereka, boleh kan?” ucapan Keiko terlalu cepat, Aya hanya mengerjap polos sebagai tanggapan, dia juga tidak bias membaca gerak bibir si pirang jika sudah begini. Keiko tersenyum semakin lebar, “Aku anggap kau setuju, terimakasih”
Menyodorkan pudding tersebut kepada keempat gadis yang sejak tadi hanya terdiam sejak kedatangan Aya, “Cobalah, teman-teman.” Keempat gadis tersebut saling menatap selama beberapa saat. “A-aku sedang diet” jawab Hana. Dahi Keiko mengernyit, netra birunya memandang berbagai bungkus keripik dan kue kering di atas meja juga beberapa kaleng soda yang sudah kosong di atas meja. “Diet? Tapi tadi kalian—“
“Aku pulang dulu, Keiko. Ibu memintaku pulang cepat.” Yoko memotong ucapan gadis cantik tersebut. “A-aku juga.” Mitsuki menimpali ucapan Yoko yang juga diangguki oleh dua gadis yang lain. Keiko hanya membuka-tutup mulutnya seperti ikan koi. Kenapa keempat gadis itu bias tiba-tiba kompak untuk pulang? Gadis itu mencebikkan bibir memandangi punggung gadis-gadis yang kini bersiap merapikan barang bawaan mereka, berpamitan, lalu perlahan mengilang dari pandangannya. Dia ditinggalkan. Lagi.
Keiko menatap meja di hadapannya dengan nyalang. Ingin sekali rasanya membalik meja itu untuk melampiaskan amarah, tapi sayang terlalu berat. Dia tak ingin menjadi bahan lelucon karena tak kuat membanting meja yang terbuat dari marmer itu. Tepukan pada bahu Keiko menyadarkannya dari lamunan, mendongak menatap gadis dengan rambut ikal yang dikuncir kuda yang menggerakkan mulutnya tanpa suara.
‘Kenapa?’
Gadis bersurai pirang itu menghela napas berat, memberi isyarat dengan tangannya, “Mereka meninggalkanku”
Aya menatap gadis di depannya itu tak mengerti.
‘Kenapa?’
“Mungkin karena aku berbeda.” jawab Keiko, masih dengan isyarat tangan.
‘Kenapa?’
Keiko berdecak sebal, ”Mana aku tahu! Yang jelas mereka selalu saja meninggalkanku!” detik berikutnya Keiko menyesal. Gadis pirang itu tak bermaksud meninggikan suaranya kepada Aya. Keiko berniat menarik tangan Aya yang menutupi kedua telinganya sebelum gadis itu menepisnya kasar.
‘Jahat’
Keiko terkesiap. Nakamoto Aya, sahabatnya itu mungkin sedikit berbeda dengan remaja lainnya. Tapi Keiko bersumpah, demi apaun dia tak pernah memiliki niatan untuk menyakiti gadis itu.
“Maaf.” Gumam Keiko. Aya hanya menatapnya, tak menanggapi apapun.
Menangkupkan kedua tangannya, “Maafkan aku, Aya”
Dapat dilihatnya jika Aya masih menatapnya. Tak lama, senyuman yang sangat manis terbit mengiasi wajah cantik sahabatnya yang mau tak mau membuat Keiko juga tersenyum. Berdiri dengan cepat dan meregangkan tubuh, Keiko memandang Aya dengan antusias, menarik pergelangan sahabatnya itu.
Aya menghentikan langkah tiba-tiba, membuat si pirang berisik itu menoleh.
“Ayo pergi! Festival Musim Panas di taman kota sudah menunggu!”
Cerpen PoV3_Bintang_Fera Dwi Haryati
Ditengah sapuan angin malam dan suara jangkrik yang saling bersahut-sahutan, seorang gadis bernama Laras Arinta Fauziah mecoba menikmati suasana malam hari ini. Ia menatap kosong langit yang hanya terhiasi bulan, entah kemana perginya bintang-bintang malam ini. Rasanya langit tidak cukup indah disetiap malam tanpa kehadiran bintang-bintang. Bulan nampaknya merasa kesepian. Dapat dipastikan bulan akan kembali merasakan malam ini adalah malam yang cukup berat dan panjang. Sebab ia tidak punya teman untuk mengusir kepergian. Nampaknya Laras pun merasakan hal yang sama seperti bulan. Ia merasa kesepian yang sama seperti bulan.
Empat tahun yang lalu, Laras mengikuti masa pengenalan lingkungan sekolah di SMA Budi Luhur. Laras berkenalan dengan anak gadis sebayanya bernama Bintang Raisyha. Biasa dipanggil Bintang. Laras dan Bintang masuk dalam regu yang sama. Dan bahkan, tanpa mereka sangka mereka pun juga masuk dalam kelas yang sama yaitu kelas 10 IPA 2. Hari-hari mereka lalui bersama dengan penuh cerita suka maupun duka. Sampai akhirnya mereka pun menjadi seorang sahabat. Yap, sahabat yang selalu berjanji untuk melewati apapun bersama.
Tiga tahun kemudia, tibalah sebuah moment yang sangat dinantikan. Yaitu, moment pengumuman hasil kelulusan. Laras dan Bintang bergegas melihat papan pengumuman. Meraka Nampak sangat bahagia sebab mereka berdua menyaksikan bahwa nama mereka ada dipapan pengumuman. Itu artinya mereka dinyatakan lulus. Raut wajah bahagia dengan senyum lebar pun merekah diwajah mereka. Akhirnya, mereka lulus setelah melewati tiga tahun yang panjang. Usaha kini membuahkan hasil.
“ Kita mau lanjut di kampus mana nih, Ras? ” Tanya bintang pada laras.
“ Lanjutnya gak usah ke kampus mana pun” Jawab Laras yang membuat dahi Bintang sedikit berkerut.
“ Gimana-Gimana maksudnya? ”
“ Lanjut kepelaminan aja gimana. Tapi, kamu duluan ya Bin. Besok aku cariin jodohnya” Perkataan Laras sontak membuat Laras yang sedang menyeruput Pop ice, tersedak.
“Uhuk-uhuk. Sekolah yang bener dulu baru mikir jodoh-jodohan.” Ujar Bintang.
Setelah gurauwan kecil itu pun mereka benar-benar bertukar pikiran tentang kelanjutan pendidikan mereka. Dan akhirnya mereka memutuskan untuk masuk di Kampus yang sama namun berbeda Fakultas. Mereka memang memiliki banyak kesamaan bahkan dari segi makana, minuman, dan juga hobi yang mereka miliki juga sama. Namun ada hal-hal yang menyebabkan mereka tidak bisa untuk masuk ke Fakultas maupun jurusan yang sama. Meski begitu mereka sepakat untuk tetap menjadi sahabat yang selalu saling ada. Dan juga mereka berjanji untuk tinggal di Kost yang sama. Intinya mereka tetap mengingikan berada pada satu lingkungan yang sama. Mereka ingin tumbuh dewasa bersama.
Setelah hari itu kenyatan pahit dimulai. Laras tidak lagi mendengar kabar Laras selama berbulan-bulan. Bahkan, sampai akhirnya Laras resmi diterima dan menyandang status Mahasiswi di sebuah Universitas ternama. Laras sudah mencari kabar dan keberadaan Bintang kemana-mana namun tidak pernah membuahkan hasil. Laras sangat khawatir pada sahabatnya itu. Dia tidak pernah membayangkan akan kehilangan sahabatnya itu tiba-tiba. Dia sangat sedih sebab, ada janji yang tidak Bintang penuhi. “Bintang aku tak ingin merajut mimpi sendiri. Aku ingin kau pun disini” lirihnya.
Tidak terasa Laras sudah kehilangan kontak dengan bintang selama hampir satu tahun. Laras tetap terus mencari. Ternyata ada usahanya yang membuah hasil. Namun, kenyataan pahit harus ia telan setelah mengetahui kebenarannya. Bahwa selama ini Bintang mengidam penyakit Kanker Tulang yang berhasil menggerogoti tubuhnya. Bintang menyembunyikan ini semua sebab dia tidak mau Laras sedih. Dan baru beberapa hari yang lalu, Bintang baru saja menghembuskan nafas terakhirnya dan menghentikan perjuangannya. Kabar ini sontak membuat Laras banjir air mata.
Hari ini Laras berkunjung ketempat peristirahatan terakhir Bintang, sahabatnya. Dan ia berkata “Tuhan terimakasih telah menghadirkan seorang sahabat. Yang benar-benar memikirkanku bahkan disaat tubuhnya sudah tidak lagi berdaya. Bintang adalah sahabat yang sangat baik. Dia ada bahkan dalam suka dukaku. Dia yang mendengar setia ceritaku. Aku berharap kelak aku akan bertemu kembali dengan bintang. Seperti bulan yang kelak akan abadi bersama bintang-bintang”.
Samarinda, 5 Maret 2020
Jumat, 06 Maret 2020
Cerpen | The Love Story In a Flood
Jakarta, Selasa 25 Februari 00:00 WIB
gemericik syahdu mengetuk jendela kamar Amanda dini hari, matanya coba terpejam namun tak juga mau terlelap. Sudah dari jam sepuluh dia coba mengatupkan mata, berguling-guling di kasurnya yang lembut, namun fikirannya tetap saja tak bosan mengganggu, "Ayolah, besok aku masih harus sekolah" bisiknya resah. Namun semakin malam fikirannya justru makin gundah. Dia mengaku salah, selama ini hanya bisa menyimpan rasa dan perasaannya dalam hati saja, tapi masa Akmal gak faham? Waktu semakin berlalu, namun tetap saja matanta tak juga mengatup. Kejadian tadi siang benar-benar membuat hatinya gusar, dia cemburu. Namun, hanya bisa memendamnya dalam hati.
Jam sudah menunjukkan pukul 01.00 WIB.Terdengar ketukan pintu di luar kamar. Amanda terjaga dari lamunannya.
"Manda, ayo keluar nak. Rumah kita kebanjiran", suara ibunya terdengar panik.
Amanda keluar, betapa kagetnya dia. Air telah tinggi semata kaki. Menggenangi karpet rumah, kursi melayang, dan perabotan rumah lainnya. Tetangga berhamburan, menyelamatkan barang apa saja yang bisa diselamatkan. Banjir memang sedang akrab-akrabnya di ibu kota.
Tepat pukul 02:00 dini hari, semua warga berlomba-lomba bergegas menyelamatkan diri dan barang-barang berharga. Semua tampak kebingungan mengingat tidak ada perahu karet, mobil pun mogok akibat air yang terus naik. Keadaan semakin riuh ditambah ada salah satu warga yang jatuh tak sadarkan diri, sementara itu orang tua Amanda meminta bantuan Bara untuk menyelamatkan anaknya. Tetapi justru Bara membawa Amanda pergi entah kemana.
"Hey mau dibawa kemana anak saya!" teriak Ibu Manda yang melihat Bara menutun Amanda secara paksa dan sedikit cepat.
Bara menggandeng Amanda dengan kuatnya, ia tak ingin Amanda lepas dari genggamnnya. Suara ribut warga menyelamatkan harta benda tak dihiraukan. Dan tak terasa, kini mereka sudah sampai di gedung tinggi ibu kota.
"Amanda", Bara mengawali pembicaraan.
"Sebelum kau berkata, aku ingin menanyakan suatu hal mengapa kau bawa aku kesini?", Amanda menatap Bara dengan seksama.
"Kau tau, sudah lama aku menyukaimu. Namun aku selalu takut untuk mengungkapkan. Aku janji, aku akan selalu menjagamu sampai kapanpun"
Dalam hati Amanda bergumam, "Benarkah Bara menyukaiku?". Andai kamu tau Bara, hatiku hanya ada Akmal. Aku mencintainya dan berharap ia memiliki rasa yang sama untukku. Amandapun diam.
Amanda dalam keadaan bingung, dia tidak menyangka Bara yang selama ini dilihatnya sedingin salju. Kini mengemis cinta di hadapannya. Sementara dalam hatinya telah terpatri nama Akmal. Jika dia menerima cinra Bara. Maka tidak mungkin baginya membuka hati secepat itu. Sungguh saat-saat menegangkan dalam kehidupannya. Dia diihadapkan oleh kenyataan yang tidak sesuai dengan harapannya. Akankah dia memilih Bara yang telah mengutarakan perasaan padanya. Atau tetap menunggu Akmal yang belum tentu menaruh rasa padanya.
***
Akibat banjir yang tidak kunjung surut, listrik menjadi padam. Orang-orang terlihat murung, tidak ada yang bisa dilakukan mereka, kecuali berpasrah kepada Tuhan. Bagi mereka banjir adalah kawan akrab ketika musim penghujan di ibu kota. Tidak heran apa bila mereka merasakan ini setiap tahunnya.
Tepat pukul 05.15 WIB lampu menyala. Perasaan orang-orang legah. Namun, tiba-tiba segerombolan orang lewat menggotong keranda. Ternyata, banjir menewaskan satu tetangga Amanda. Dia berdoa lirih, perasaan takut menghantui dirinya. Amanda melihat sekelilingnya, dia tidak melihat orangtuanya.
"Di mana bapak ibu?", tanya Amanda dalam hatinya.
Amanda mencoba mencari namun nihil. Perasaannya semakin tidak karuan. Dia bingung dan ketakutan. Sementara, terdengar suara ibu minta tolong. Bara mencari sumber suara tersebut, ternyata ada sepasang ibu dan anak yang terjebak banjir. Bara melompat, menyelamatkan keduanya. Amanda semakin panik, lalu ia terpeleset.
"Aaaaaaaaaawwwwww", Amanda menjerit
Bara melihat ke arah Amanda. Dia kebingungan, mana yang harus lebih dulu ditolong. Amanda atau Ibu dan anak yang ada di depannya.
Semuanya gelap, wangi air memenuhi hidung Amanda, dia coba mengatur nafas, menggerakkan tubuh sebisa mungkin, tapi justru seutas kabel melilit kakinya, sejenak dia pasrah, mungkin perasaan tinggal perasaan, mungkin pertanyaan tinggallah sebuah pertanyaan. Lalu sesosok bayangan tiba-tiba bergerak cepat menghampirinya, selanjutnya dia tidak tahu ada apa lagi, dia sudah tak sadar diri. "Amanda, bangun Amanda! Ayo!" Cahaya fajar mengecup pipinya lembut, semburat matahari menyapa matanya, dihadapannya kini cahaya fajar memantul lewat wajah seseorang yang selama ini dia genggam erat dalam hatinya : Akmal. Benarkah ini Akmal? Ataukah ini hanya sebuah halusinasi? Ataukah benar kata orang bahwa rindu selalu mampu memiliki cara untuk memanggil yang dirindukan? "Plis Amanda, ayolah bangun, kamu harus tahu isi hati ini yang sebenarnya!" Amanda pun terperanjat.
Setelah Amanda tersadar, Akmal membawanya pulang. Terlihat Bara lebih dulu tiba di rumah Amanda. Rupanya sepasang ibu dan anak yang diselamatkan Bara adalah keluarga dari ayah Amanda. Semua berkumpul di ruang tamu. Ada Amanda, Akmal, dan Bara. Ditemani coklat hangat, dan suasana semakin menghangat. Amanda semakin dilema. Apakah dia akan tetap mempertahankan perasaannya kepada Akmal? Atau dia akan memulai membuka hati untuk Bara? Sungguh keduanya membuat Amanda beperang sendiri dengan hatinya. Akmal yang dia cintai atau Bara yang selalu ada untuknya. Amanda diam, dia tidak bisa memutuskan pada siapa akhirnya memilih melabuhkan cintanya.
"Man", sapa Bara memecahkan keheningan
"Aaa iya", Amanda gelagapan
"Nanti Bar, aku masih butuh waktu". Sambung Amanda
Sementara Akmal kebingungan, bertanya pada dirinya sendiri apa yang terjadi antara Amanda dengan Bara. Akmal mengernyitkan dahi. Tiba-tiba hatinya panas.
Cerpen | Hijrah Hati
Di pelupuk mata selalu terkantung banjiran air mata. Duniaku gelap ketika kudapati hati kian teriris. Aku yang memilih pergi, maka aku juga yang harus siap dengan segala tusukan duri.
Tiga tahun yang lalu tepatnya. Ketika aku sudah lulus SMA, aku memilih kuliah di perantauan. Meninggalkan keluarga dan pastinya Rian, lelakiku. Dia memang tidak menginginkan berakhirnya hubungan karena jarak memisahkan, tapi aku yang bersikukuh untuk mengakhiri.
Sudah lama sekali aku memang tak berkomunikasi dengannya, hanya sesekali melihat perkembangannya di sosial media. Rian sudah banyak berubah, perlahan semakin mempesona.
"Besok jadi 'kan ke undangan? Awas kalo telat ya, Sani. Buktiin kalau kamu udah move on." ujar salah satu temanku.
Sebenarnya tak masalah bagiku untuk datang ke acara pernikahan, hanya saja ini bukan sembarang pernikahan. Ada masa laluku di sana, sosok yang ingin kulupakan tapi ternyata masih erat di ingatan.
Keesokan harinya. Aku tunjukkan pada semua teman-temanku bahwa aku sudah tidak apa-apa. Aku bergabung dengan rombongan mereka. Menyalami Rian pastinya di acara, tak lupa kuucap selamat kepadanya dan pada istrinya.
Bagiku, masa lalu tak perlu kita musuhi, jadikan pelajaran untuk ke depannya. Karena masa lalu tidak bisa diubah, apalagi dilupakan.
Ternyata memang tidak ada salahnya datang ke pernikahan mantan. Selain uji nyali juga mengetes masih ada nggak sisa-sisa perasaan. Dan aku lega, akhirnya kata-kata baik bisa aku beri untuk Rian. Dengan begini kan aku tidak perlu berharap lagi, tinggal sekarang aku yang harus mencari pasangan hidupku.
Ruang Diskusi, 01 Maret 2020
Cerpen | Jejak Rasa di Masa SMA
Masa putih abu-abu adalah masa di mana usia telah beranjak remaja. Mengalami masa pubertas dan berbagai kisah yang ikut mewarnainya. Saat itu aku belum terlalu memikirkan tentang dunia percintaan. Dekat dengan lawan jenis saja aku masih sulit untuk berinteraksi. Di kelas aku terkenal sebagai murid yang pendiam dan lugu. Meski terkenal sebagai kutu buku pun mereka tidak ada yang berlagak sok membully. Kami saling menghargai sesama teman tidak membedakan antara yang satu dengan yang lain.Jika ada tugas kebersihan semuanya beramai-ramai ingin membantu dan bergotong royong.
Pengalaman belajar yang menyenangkan seolah menjadi momen berharga yang tak ingin terlupakan. Merajutnya melalui goresan aksara sebagai pelipur kenangan untuk kedepannya. Aku yang dikenal oleh teman sebagai kutu buku perlahan berubah menjadi sosok yang bisa berinteraksi dengan teman yang lain agar tidak lagi canggung jika bertemu di luar sekolah. Semua teman mendukung perubahan positif dalam diriku. Mereka terus memberi dukungan terbaik untukku tanpa memandang siapa diriku ini. Aku bersyukur di tengah masa pergolakan remaja ini, teman-teman yang berada di sisiku tidak menjerumuskan pada hal yang berdampak negatif. Kami justru membuat komunitas pengembangan diri untuk menyalurkan ide dan kreativitas khas remaja. Di bantu oleh guru dan para pembimbing lainnya kini kami merasakan kebersamaan yang terajut dengan indah pada masa sekolah.
Masa sekolah memang tidak mungkin bisa dilupakan. Terajut dalam asa dan bingkai aksara kenangan. Saat aku sudah masuk remaja dan membuka diri, aku mulai menjajaki kegiatan positif sesuai dengan minatku. Minatku lebih kepada bidang menulis, oleh karena itu aku banyak mengikuti kegiatan komunitas menulis dan bedah buku. Setiap aku mengikuti komunitas atau kegiatan yang bersinggungan dengan literasi lebih khususnya tentang kepenulisan selalu bertemu teman dan pembimbing yang selalu mendukungku.
Dari kejauhan terdengar teriakan yg mengganggu gendang telingaku,
Sudah kuduga. Dina, si puitis berambut pirang bergelombang.
"Putri..!!!"
"Yaelah, lo gak nyahut-nyahut gue teriakin dari gerbang sekolah." Ucapnya sambil ngos-ngosan.
Aku hanya tersenyum geli melihat sahabatku yang sangat kukenali ini.sejak bangku Sekolah Dasar.
"Yah lu mah, gak usah teriak-teriak kayak gitu juga, gue denger kok." Candaku girang.
"Ehh lo tau gak Put? nanti habis pulang sekolah komunitas sastra bakalan ngumpul, katanya sih ada sesi materi tentang Novel, kan lo suka banget dengan pembahasan tentang novel,nanti samaan yah." Dina berucap sambil berharap agar aku ikut dengannya
"Iya, tenang aja. Aku pasti ikut kok." Aku meyakinkan Dina.
"Lu emang terbaik, oh iya, gue duluan yah. ada yg harus aku urus di ruangan ibu Mira. Kita ketemu nanti di sekret." Dina pun melambaikan tangan dan berlalu membelah keramaian koridor sekolah.
Sifat pendiam inilah yang membuatku semakin terhanyut dalam goresan aksara yang terangkai dalam novel.Aku mulai menyukai novel sejak pertama kali ayah membelikanku ketika aku masih duduk di bangku SMP. Dan hal itu memotivasiku untuk mulai hobi menulis dan berupaya merangkai sajak puitis dalam setiap lembar yang kutulis, Hingga akhirnya membuatku menjadi sosok pengagum dalam diam terhadap goresan bait-bait aksara.
Setelah bel pulang sekolah berbunyi, Dina menghampiriku di kelas dan mengajakku untuk menghadiri komunitas sastra itu.
"Put ayo! kita berangkat gue udah gak sabar nih ingin mendengarkan materi tentang novel!" sambil menarik-narik tanganku dengan suara khas nya itu.
"Iya Din, sabar dulu sebentar jangan terburu-buru seperti itu,bersemangat sekali lu."
"lah iya dong."
Dengan wajah polosnya Dina melanjutkan ucapannya.
"Soalnya kan dia ikut komunitas sastra juga." Celetuknya tanpa sadar.
"Ehh." Dina menutup mulut, membatin dalam hati ' Aduh gue keceplosan!'.
"Hah, dia siapa Din?" Tanyaku iseng
"Ah nggak, tadi bercanda aja"
"Hmm ya sudah, ayo kita berangkat!"
Sebenarnya aku mengetahui bahwa Dina menyukai seseorang yang sama denganku. Tetapi, Sifatku yang pendiam membuat aku bungkam akan hal itu. Menulis menjadi satu kegiatan yang aku geluti karena, Dengan menulis bisa menjadi inspirasiku dalam aktivitas keseharianku. Saat ini aku telah merangkai sebuah cerita dari objek inspirasiku.Yaitu, 'Dirinya Yang Kukagumi'.
Seperti yang kupikirkan, seseorang yang dikatakan oleh Dina juga datang pada komunitas sastra itu.
"Put duduk di sana yuk!" Dina menunjuk ke kursi di dekat jendela, tepatnya di sebelah dia.
Aku yang baru ingin menolak, lagi-lagi mengurungkan niat.karena, Dina sudah menarik tanganku dan membawaku duduk di sana.
Kulihat Dina tersenyum malu-malu saat orang yang dikaguminya menoleh dan tersenyum ramah. Sedangkan aku, hanya menunduk sambil mendekap sebuah buku novel kesukaanku. Hatiku meronta dalam diam, Tak ingin melihat senyumnya untuk orang lain padahal diriku bukanlah siapa-siapa untuknya.
Waktu terus berlalu. Detik telah terlewati di setiap sesi materi pembahasan tentang kepenulisan novel yang sangat dinanti dengan rasa antusias kini telah berakhir. Aku dan Dina berjalan keluar ruangan lalu cowok itu pun menghampiri kami.
"Ehm permisi!" katanya pada kami berdua.
"Iya" kataku dan Dina secara bersamaan.
Hingga membuat situasi menjadi canggung. Aku tidak melanjutkan kata-kataku begitupun juga Dina, Lalu cowok itu menyodorkan ponselnya nya ke arah Dina sembari melontarkan ucapan yang membuatku merasakan denyut sakit di dada.
"Tolong masukin nomor kamu ke ponsel ini yah,"
"Buat apa?" Sahut dina seakan tidak mengerti situasi ini
"Ada yang ingin aku bicarakan."
"Oke." Sahut Dina langsung mengiyakan tanpa berpikir terlebih dahulu seperti biasa jika ada yang meminta nomor ponselnya.
Sejak hari di mana insiden pemberian nomor ponsel itu, Cowok itu dan Dina semakin dekat dan akrab. Ternyata mereka berdua pernah satu sekolah saat SMP dan kini kembali merajut rindu yang telah lama tak bersua.
Aku tak tahu bagaimana seharusnya diri ini bersikap biasa di hadapan mereka berdua di saat aku sendiri berusaha untuk menghapus jejak rasa dan angan terhadapnya. Karena, Aku sadar tidak bisa memaksanya untuk menyukaiku dan akupun tak ingin merusak kebahagiaan Dina sahabatku dengan melarangnya untuk tidak menyukai cowok itu.
Di sini aku hanyalah seorang pengagum rahasia yang takkan pernah bisa mengungkapkan segala rasa yang ada. Mungkin lebih baik aku tetap bungkam dan merelakan segalanya.
Aku mengambil secarik kertas dari tasku, lalu penaku mulai menari dengan riang di atas kertas.
"Merelakan bukan berarti menyerah, Tetapi kita menyadari bahwa ada hal yang tidak bisa dipaksakan dalam hal mencintai dalam diam."
Aku berusaha mengukir senyum untuk hari yang akan terlewati dengan perasaan yang baru.
Semua telah digariskan oleh sang pemilik semesta dan aku tidak ingin khawatir lagi tentang rasa ini. Akan memudar atau akan bertahan dalam kepedihan.
Pengalaman belajar yang menyenangkan seolah menjadi momen berharga yang tak ingin terlupakan. Merajutnya melalui goresan aksara sebagai pelipur kenangan untuk kedepannya. Aku yang dikenal oleh teman sebagai kutu buku perlahan berubah menjadi sosok yang bisa berinteraksi dengan teman yang lain agar tidak lagi canggung jika bertemu di luar sekolah. Semua teman mendukung perubahan positif dalam diriku. Mereka terus memberi dukungan terbaik untukku tanpa memandang siapa diriku ini. Aku bersyukur di tengah masa pergolakan remaja ini, teman-teman yang berada di sisiku tidak menjerumuskan pada hal yang berdampak negatif. Kami justru membuat komunitas pengembangan diri untuk menyalurkan ide dan kreativitas khas remaja. Di bantu oleh guru dan para pembimbing lainnya kini kami merasakan kebersamaan yang terajut dengan indah pada masa sekolah.
Masa sekolah memang tidak mungkin bisa dilupakan. Terajut dalam asa dan bingkai aksara kenangan. Saat aku sudah masuk remaja dan membuka diri, aku mulai menjajaki kegiatan positif sesuai dengan minatku. Minatku lebih kepada bidang menulis, oleh karena itu aku banyak mengikuti kegiatan komunitas menulis dan bedah buku. Setiap aku mengikuti komunitas atau kegiatan yang bersinggungan dengan literasi lebih khususnya tentang kepenulisan selalu bertemu teman dan pembimbing yang selalu mendukungku.
Dari kejauhan terdengar teriakan yg mengganggu gendang telingaku,
Sudah kuduga. Dina, si puitis berambut pirang bergelombang.
"Putri..!!!"
"Yaelah, lo gak nyahut-nyahut gue teriakin dari gerbang sekolah." Ucapnya sambil ngos-ngosan.
Aku hanya tersenyum geli melihat sahabatku yang sangat kukenali ini.sejak bangku Sekolah Dasar.
"Yah lu mah, gak usah teriak-teriak kayak gitu juga, gue denger kok." Candaku girang.
"Ehh lo tau gak Put? nanti habis pulang sekolah komunitas sastra bakalan ngumpul, katanya sih ada sesi materi tentang Novel, kan lo suka banget dengan pembahasan tentang novel,nanti samaan yah." Dina berucap sambil berharap agar aku ikut dengannya
"Iya, tenang aja. Aku pasti ikut kok." Aku meyakinkan Dina.
"Lu emang terbaik, oh iya, gue duluan yah. ada yg harus aku urus di ruangan ibu Mira. Kita ketemu nanti di sekret." Dina pun melambaikan tangan dan berlalu membelah keramaian koridor sekolah.
Sifat pendiam inilah yang membuatku semakin terhanyut dalam goresan aksara yang terangkai dalam novel.Aku mulai menyukai novel sejak pertama kali ayah membelikanku ketika aku masih duduk di bangku SMP. Dan hal itu memotivasiku untuk mulai hobi menulis dan berupaya merangkai sajak puitis dalam setiap lembar yang kutulis, Hingga akhirnya membuatku menjadi sosok pengagum dalam diam terhadap goresan bait-bait aksara.
Setelah bel pulang sekolah berbunyi, Dina menghampiriku di kelas dan mengajakku untuk menghadiri komunitas sastra itu.
"Put ayo! kita berangkat gue udah gak sabar nih ingin mendengarkan materi tentang novel!" sambil menarik-narik tanganku dengan suara khas nya itu.
"Iya Din, sabar dulu sebentar jangan terburu-buru seperti itu,bersemangat sekali lu."
"lah iya dong."
Dengan wajah polosnya Dina melanjutkan ucapannya.
"Soalnya kan dia ikut komunitas sastra juga." Celetuknya tanpa sadar.
"Ehh." Dina menutup mulut, membatin dalam hati ' Aduh gue keceplosan!'.
"Hah, dia siapa Din?" Tanyaku iseng
"Ah nggak, tadi bercanda aja"
"Hmm ya sudah, ayo kita berangkat!"
Sebenarnya aku mengetahui bahwa Dina menyukai seseorang yang sama denganku. Tetapi, Sifatku yang pendiam membuat aku bungkam akan hal itu. Menulis menjadi satu kegiatan yang aku geluti karena, Dengan menulis bisa menjadi inspirasiku dalam aktivitas keseharianku. Saat ini aku telah merangkai sebuah cerita dari objek inspirasiku.Yaitu, 'Dirinya Yang Kukagumi'.
Seperti yang kupikirkan, seseorang yang dikatakan oleh Dina juga datang pada komunitas sastra itu.
"Put duduk di sana yuk!" Dina menunjuk ke kursi di dekat jendela, tepatnya di sebelah dia.
Aku yang baru ingin menolak, lagi-lagi mengurungkan niat.karena, Dina sudah menarik tanganku dan membawaku duduk di sana.
Kulihat Dina tersenyum malu-malu saat orang yang dikaguminya menoleh dan tersenyum ramah. Sedangkan aku, hanya menunduk sambil mendekap sebuah buku novel kesukaanku. Hatiku meronta dalam diam, Tak ingin melihat senyumnya untuk orang lain padahal diriku bukanlah siapa-siapa untuknya.
Waktu terus berlalu. Detik telah terlewati di setiap sesi materi pembahasan tentang kepenulisan novel yang sangat dinanti dengan rasa antusias kini telah berakhir. Aku dan Dina berjalan keluar ruangan lalu cowok itu pun menghampiri kami.
"Ehm permisi!" katanya pada kami berdua.
"Iya" kataku dan Dina secara bersamaan.
Hingga membuat situasi menjadi canggung. Aku tidak melanjutkan kata-kataku begitupun juga Dina, Lalu cowok itu menyodorkan ponselnya nya ke arah Dina sembari melontarkan ucapan yang membuatku merasakan denyut sakit di dada.
"Tolong masukin nomor kamu ke ponsel ini yah,"
"Buat apa?" Sahut dina seakan tidak mengerti situasi ini
"Ada yang ingin aku bicarakan."
"Oke." Sahut Dina langsung mengiyakan tanpa berpikir terlebih dahulu seperti biasa jika ada yang meminta nomor ponselnya.
Sejak hari di mana insiden pemberian nomor ponsel itu, Cowok itu dan Dina semakin dekat dan akrab. Ternyata mereka berdua pernah satu sekolah saat SMP dan kini kembali merajut rindu yang telah lama tak bersua.
Aku tak tahu bagaimana seharusnya diri ini bersikap biasa di hadapan mereka berdua di saat aku sendiri berusaha untuk menghapus jejak rasa dan angan terhadapnya. Karena, Aku sadar tidak bisa memaksanya untuk menyukaiku dan akupun tak ingin merusak kebahagiaan Dina sahabatku dengan melarangnya untuk tidak menyukai cowok itu.
Di sini aku hanyalah seorang pengagum rahasia yang takkan pernah bisa mengungkapkan segala rasa yang ada. Mungkin lebih baik aku tetap bungkam dan merelakan segalanya.
Aku mengambil secarik kertas dari tasku, lalu penaku mulai menari dengan riang di atas kertas.
"Merelakan bukan berarti menyerah, Tetapi kita menyadari bahwa ada hal yang tidak bisa dipaksakan dalam hal mencintai dalam diam."
Aku berusaha mengukir senyum untuk hari yang akan terlewati dengan perasaan yang baru.
Semua telah digariskan oleh sang pemilik semesta dan aku tidak ingin khawatir lagi tentang rasa ini. Akan memudar atau akan bertahan dalam kepedihan.
Cerpen | Rayhan dan Nanda
Rerintik hujan mengetuk jendela, bulan purnama menggagahi angkasa, langit mulai melipat diri, menitip hujan tak kunjung henti.“Mengapa Rayhan tidak terlihat saat ini ada apa dengannya?” batinku.
*KRIIIING*
Terbaca di layar handphone nanda. “Hai Nanda! Tebak aku ada dimana?”
Kemudian Nanda pun membalas pesan dari Rayhan “Kemana saja kamu? Mana ku tahu hari ini kau tak memberi kabar seperti biasanya”
“Haha rindu ya dengan sahabatmu ini? Hey cepat keluar sebelum aku menggigil beku!” balasnya.
Kemudian Nanda pun menuju ruang tamu untuk membuka pintu. Saat membuka pintu dia melihat rayhan membawa kue dan lilin.
“Hey, ulang tahunku masih jauh, buat apa kau membawakan kue dan lilin?” Nanda tertawa lebar.
“Ge er banget sih, siapa juga yang bilang kuenya buat kamu. Kapan aku disuruh masuk, keburu membeku disini nih, nanti aku jadi es batu terus dikunyah sama kamu si pemakan es batu” balas Rayhan
“Iya bawel ayo cepat masuk biar gak diculik pocong haha” Nanda membalas ledekannya.
“Yee.. justru kebalik aku yang culik pocong mau kubuka pertunjukkan debus pocong biar cepet kaya hahaha”. Keduanya tertawa keras.
“Rayhaan...rayhan… haha, lantas ada apa kamu bawa kue dan lilin?” tanya Nanda dengan rasa penasaran.
“Ada orang tua mu tidak?” Rayhan balik bertanya.
“Tidak , mereka sedang menjenguk nenek. Emangnya kenapa sih?” Nanda makin penasaran.
Rayhan menitip kue di tangan Nanda dan membuka isi tas nya, lalu mengeluarkan terompet kecil dan topi ulang tahun. “Pakai ini! Aku dapet beasiswa di Jepang, jadi kita rayain sama-sama!!! Horeee” Rayhan memberi topi pada Nanda lalu meniup terompet dengan kerasnya.
“Waah, Rayhan, kamu hebat! Selamat yaa aku turut bangga denganmu walau kadang nyebelin haha.” Teriak Nanda sembarimengacak acak rambut rayhan.
“Aku sempat bimbang aku mengambil kesempatan ini atau tidak, satu sisi, itu impianku, di sisi yang lain, aku jauh darimu. Nanti, siapa yang akan menemaniku minum kopi di warung kopi Kang Dadang depan komplek kala hujan? Siapa yang akan menemaniku kala malam jam luangku berdiri di depan jendela masing-masing sambil mengejek satu sama lain dengan selembar kertas?” ucap Rayhan dengan raut muka sedih yang mendalam.
“ Kejar impianmu, jangan fikirkan aku! Kita bisa memberi kabar lewat handphone kan? Aku janji aku akan datang di wisudamu nanti memakai gaun merah yang kamu impikan dari kecil ahahaha. Sudah ah! Belum apa-apa kau sudah terancam rindu, haha, lebay kamu !! telan nih terompetnya, buat apa bawa terompet kalau suasananya jadi melow gini haha” balas Nanda dengan nada bicara yang diaturnya.
Nanda mencoba mengembalikan suasana dengan jutaan tawa meski perih terasa di setiap hela udara. Sedari dulu Nanda dan Rayhan selalu bersama sejak Rayhan pindah didepan rumahnya pada saat di Sekolah Dasar.
“Masa sih? Kamu kali yang rindu karna gaada lagi yang nemenin main Playstation haha”,
“ Geer wuuu… lalu kamu kapan berangkatnya han?”
“Minggu depan Nan, makanya kita rayakan sekarang, hahaha. Oh iya, nanti kamu wajib antar aku ke bandara ya!” Sambil memegang pundak Nanda.
“ogah! berangkat saja sendiri aku mau namatin RESIDENT EVIL ke 7 weeeee…” tolak Nanda seraya menjulurkan lidah.
Rayhan pun membalas ledekan Nanda dengan mengkelitiki perut nanda hingga nanda takuasa berteriak tawa.
“Sudah han! Kalo gak berhenti juga aku taruh kecoa nanti di kopermu” ujar nanda sambil tertawa kegelian dan melerai tangan rayhan.
Malam semakin larut, ribuan bintang perlahan mulai pamit dan tetes hujan mulai tak memunculkan dirinya. Rehan pamit didepan pintu dan pulang kerumahnya “Nan, udah malem nih aku pulang dulu ya, yang bener jaga lilinnya” kata rayhan.
Nanda mengambil krim kue lalu mengoles ke wajah rayhan dan berkata “yeee … ngeselin banget nih ari-ari laron, aku yang jaga, kamu yang ngiterkan? Wahahaha” Nanda tertawa puas.
Rayhan pun membalas dengan mengoles krim kue ke wajah Nanda dan langsung lari kerumahnya.
*KRIINGGGG…*
Panggilan masuk dari Rayhan mengawali pagi Nanda.“Halo?? Luwak white coffee gak bikin kembung?” dengan suara berat menahan kantuk.
“WOI BANGUN!!! ANAK CEWE JAM SEGINI BELUM BANGUN, REZEKINYA NANTI KEPATOK BANDOT, EH, AYAM AHAHA” teriak Rayhan lewat handphone.
“BERISIIIIKK!!! Mau tidur enak aja susah! Bilangin ke ayamnya matok kamu aja biar gak ganggu orang mulu” membalas teriakan Rayhan dengan mata sayup sayup.
“Udah cepet bangun, kita lari pagi biar gak letoy kaya sayuran pasar haha! Sana siap sia,p aku tunggu 15 menit kalo belum siap juga aku cabut poster dan koleksi one direction kamu biar tau rasa“ Rayhan menantang nanda. Nanda pun membuka jendela kamar dan memasang muka masam lalu bergegas siap siap untuk lari pagi.
“Maaah… aku lari pagi dulu ya sama Rayhan, Assalamualaikum” pamit Nanda dengan wajah yang masih ngantuk dan suara berat. Rayhan berada di depan pintu menunggu nanda.
“Iya, Nanda awas itu didepan ada ….“ belum selesai Ibu bicara, Nanda sudah tersandung gundakan ubin dirumah. Rayhan pun tertawa keras tanpa memperdulikan nanda.
“Iiiiih…. Sakiiiit… rayhan bantuin kek bukan malah ketawa”sambil memegang kaki kanannya yangg tersandung. Rayhan bergegas menggendong nanda keluar.
“Tante, Nandanya aku ajak ke Taman ya, biar gak tidur lagi di rumah, Assalamualaikum tante” kata Rayhan
“Waalaikumsalam, hati-hati nak rayhan” jawabnya.
Matahari mulai mengintip di atas langit, kicauan burung menyambut Nanda dan Rayhan dipagi itu sambil menyusuri jalan menuju taman. “Nanda ..” Rayhan memanggil.
“Hm, apa?!” sahutnya dengan wajah masam menahan sakit.“
“Kau tahu? Tuhan maha kreatif”.
“Maksudnya?”
“Tuhan Maha kreatif, Dia menciptakan berbagai kalimat semangat untuk hidupku dan salah satunya datang darimu”
Terbesit senyum tipis dari bibir nanda dan tiba tiba rasa deg-degan muncul di dada. “Ada apa ini? Kok aku terasa deg-degan ketika Rayhan berkata seperti itu?” batinnya.
“Han kita duduk dibawah pohon sana aja yuk, gak terlalu ramai juga biar kakiku bisa diluruskan sebentar baru deh kita jogging”
“Siap ibu bosss”
“Sammpeee….” Sambil menurunkan nanda
“Alhamdulillah..”
“Badan kamu berat banget sih nan, makan orang?”
“Rayhaan iih, emang ya?”
“Canda deng, gk berat kok badan kamu cuman pipi kamu aja yg berat alias tembem wlee “menyubit pipi Nanda.
“Rayhaaan…”
Mereka bercanda dibawah pohon dan diantara keramaian taman hingga lupa untuk memulai lari pagi.
“Han, udah ah yuk lari, ngajak ke taman tapi malah bercanda disini wooo dasar gendut” ajak Nanda.
“Ya udah ayuk!” sambil memegang tangan nanda.
“Rayhaan, ngapain megang tanganku?!”
“Kata nya lari, ya ini mau lari ke pelaminan sama kamu, hahaha”
“Apaaan si ga lucu ga nyambung “ mendorong Rayhan.
“Canda kaliii, hahaha” sahut rehan.
Mereka berdua pun memulai lari pagi mengitari taman. Nanda pun lari tersenyum senyum mengingat hal tadi. Rayhan melihat dan menyadari arti senyum yang terbesit dari wajah nanda. Tak lama kemudian.
“Han, kita istirahat disana yuk dekat tukang mie ayam”
“Okeh” sahut rayhan.
Setibanya disana.
“Bang mie ayam 2 ya”. “Iya neng”. Jawab tukang mie ayam.
(Tak lama kemudian)
“Ini mie ayamnya neng” sambil memberi mangkok kepada Nanda.
“Makasi, Pak”. Ucapnya.
“Nan, Aku gak mau mie ini”, bisik rayhan ke Nanda.
“Ini enak tau, terus kamu maunya apa si?”
“Mie (me) and you, ahaha” Menunjuk dirinya dan Nanda.
“Kau mau kukutuk jadi mangkok legend kaya gini ha?! Udah cepet makan gausah banyak gombal gembel “, sengut Nanda.
“Iya ini bawel, kalo galak makin manis jadi kalah manis mie ayamnya, ahaha”
“Udah deh Hannn” Nanda memasang raut wajah masam.
Ribuan kalimat tanya memenuhi thalamus otakku “Ya Tuhan… ada apa dengan hatiku ini? Mengapa aku deg-degan seperti ini? Tak mungkin aku jatuh cinta dengan teman kecil yang sudah ku anggap seperti kakakku sendiri” hatinya berbicara sambil menghabiskan mie ayam di mangkoknya.
Tak lama kemudian makanan pun habis dan mereka berjalan untuk kembali kerumah. Semasa di perjalanan, gerimis perlahan menghampiri.
“Han, gerimis! Ayo pulang nanti kamu sakit di Jepang dingin loh bukan kayak di Bekasi”
“Nan! Ayo” Rayhan menadahkan tangan untuk mengajak Nanda menari di bawah rintikan gerimis.
Gerimis dan suaramu, melodi apa lagi yang lebih indah dari itu? Hari itu, Nanda serasa ingin menyihir waktu. Andai ada baterai yang bisa membuatnya bergerak lebih lambat dan membuat gerimis tak kunjung usai ketika mereka menari.
“Teruntuk Rayhan. Seperti gerimis, aku jatuh perlahan-lahan padamu” batinnya sambil menatap Rayhan yang sedang menikmati gerimis membasahi bumi.
“Nan, kamu harus ikut aku” menarik tangan Nanda.
Mereka berjalan ke arah warung kopi depan komplek mereka.
(Sesampainya disana)
“Eh.. Nak rayhan kenapa ujan-ujanan atuh. Nanti masuk angin mamang teh teu hayang ngerokin kamu ah, capek”
Nanda tertawa keras mendengar omongan Kang Dadang tentang Rayhan.
“Ssstt, Kang, ah!, pesen kopi 2, yang 1 gulanya dikit aja. Karna wajah saya udah manis takut saya jadi kena kencing manis, ahaha”
“Huwekk!!!” Nanda memasang tampang jijik.
“Jadi teringat ya, Nan, dulu setiap sore kita main sepeda berdua dan kalo hujan kita tinggalin sepedanya, terus lari ke warung kopi nya Kang Dadang” ucap rayhan sambil sesekali tertawa.
“Ahahaha, iya, kita gak pernah bayar dan selalu bilang, Kang bayarnya minta ke Papah ya!” sahut Nanda sambil ketawa.
Mereka pun bernostalgia masa kecilnya meski perih menerjang rasa satu sama lain. Hujan pun reda Rayhan pun mengantarkan Nanda pulang. Sesampainya mereka didepan rumah melihat ada seorang tamu yang duduk diteras rumah Nanda.
Nanda pun menghampirinya Rayhan pun berpamitan meski dia bersembunyi dibalik pohon pohon kecil karna rasa penasarannya. Sebab Anji adalah Pria idaman Nanda pada saat SMA, Nanda selalu cerita perihal kekaguman Nanda terhadap Anji ke Rayhan walaupun Anji sudah memiliki pacar.
“Hay, Nanda!” Bangun dari kursi dan tersenyum pada Nanda.
“Anji? Kok bisa kesini? Ada apa?”
“Jadi gini, Aku mau kasih bunga ini ke kamu. Dan aku baru tau kamu suka padaku meski aku sudah memiliki pacar. Percayalah Nan! Aku juga dulu suka padamu tetapi saat itu kau dekat sekali dengan Rayhan dan kukira kalian ada hubungan lebih makanya kucoba move on. Tetapi Nisa menceritakan semuanya. Dan…. Maukah kamu jadi pacarku Nan?”
Nanda terkejut, Hatinya berdegup kencang, fikiran tidak karuan sebab pria yang idamkan semasa SMA mencintainya. Di satu sisi Nanda bingung karna dia sudah tumbuh perasaan terhadap Rayhan. “Hmmm ku terima saja lah ya, Rayhan kan sudah kuanggap kakak sendiri” Fikirnya.
“Ji, Aku mau” Nanda mengambil bunga yang disodorkan Anji, dan tersenyum padanya.
Seperti tiga pedang menghujam jantung. Meneteskan bilur di kepala, menitipkan perih di setiap hela udara. Dada Rayhan pun terasa sesak melihat hal yang terjadi pada Nanda. Dirinya disana, tapi merasakan kehilangan apa yang ada di dalam dirinya.
Hampir 5 hari Nanda tak memberi kabar pada Rayhan, padahal dia ingin sekali mengabiskan seminggu ini untuk bermain bersama sebelum pergi ke Jepang. Malam sebelum keberangkatan Rayhan pun tiba, Rayhan datang ke rumah Nanda untuk mengajak ke Warung Kopi depan Komplek dia untuk memberi sebuah buku kecil dan secarik amplop berisi kertas untuk Nanda.
“Assalamualaikum.. Nanda “
“Waalaikumsalam, nak Rayhan..” Mamahnya Nanda pun keluar dan menjawab salam.
“Nandanya ada tante?”. Tanya Rayhan.
“Nanda baru saja keluar katanya mau ke Mall membeli perlengkapan untuk pesta kejutan teman nya”
“Oh, gitu, ya sudah, Rayhan titip ini ya, Tante. Taruh di laci kumpulan barang mainan yang aku pernah kasih ke Nanda. Jangan diberi tahu jika aku memberinya” Rayhan memberi buku kecil dan secarik amplop.
Keesokan pagi harinya, Rayhan tiba di Bandara. Matanya tertuju pada pemberhentiaan Taksi berharap seseorang yang ia harapkan turun dari Taksi salah satu tersebut. “Sepertinya Nanda belum bangun / lupa akan janjinya untuk menemuiku di Bandara?” Rayhan bergumam. Pesawat sudah siap untuk berangkat dan terbang menuju Jepang.
“Nan, bangun! Ada temen kamu Anji” Ucap mamahnya.
“Iya mah, aku keluar” Jawab Nanda
“Nan! Ayo, kita gak jadi kerumah Fira? Acara party nya mulai jam 10 loh”
“Tunggu, aku siap-siap dulu”
Nanda ternyata benar benar lupa akan janjinya pada Rayhan.
“Ayo Ji” Ajak Nanda
“Sebentar deh, sekarang hari apa, Ji?” Tanya Nanda pada Anji.
“Minggu, kenapa emang?”
“Ya ampun aku lupa hari ini Rayhan berangkat ke Jepang! Pasti dia marah padaku" Jawabnya dengan panic.
“Kenapa kau memikirkan rayhan? Hey kau sudah ada aku , dan aku sudah menunggumu dari tadi. Kau tidak memikirkan aku?” jawab Anji dengan kesal.
“Maafin Aku , Aku ga bermaksud. Yasudah ayo kita ke rumah Fira”
Ajaknya.
3 Tahun lebih sudah berlalu.
“Hey, Nanda bagaimana kabarmu? Sedikit lagi aku akan menyelesaikan masa perkuliahanku. Kau tahu? Kau tetap menjadi alasan untuk berjuang dan sumber penyemangat dengan kata katamu yang selalu kuingat dan kutulis di dinding kamarku. Entah terbuat dari apa dirimu. Ketika kuucap namamu, thalammus di otakku tak henti menggambar wajahmu dan nadiku bergemuruh.” Batinnya sambil menikmati kopi hangat dibawah gerimis kota Kyoto.
20.00 WIB
Nanda hendak keluar dengan Nisa untuk mengunjungi sebuah Mall, membeli perlengkapan tugas kuliahnya. Saat hendak memasuki lift, Nanda melihat seperti sosok Anji sedang makan di sebuah resto dengan perempuan lain.
Nanda pun menghampirinya dengan perasaan kesal, sebab itu benar Anji dengan perempuan lain. Nanda pulang ke rumah dan masuk ke kamarnya. Dia menangis sekencang-kencangnya, Ia butuh sandaran, Ia butuh sosok penghibur untuknya yang tidak lain ialah Rayhan. Rasa sesal menyelimuti fikiran dan hati Nanda, ia meninggalkan dan perlahan melupakan orang yang selalu ada untuknya demi orang yang ia cintai dan kini, orang tersebut mengecewakannya.
Nanda membuka laci dengan sekumpulan kenangan sepanjang hidup Nanda dan Rayhan ketika bersama. Lalu, ia melihat ada sebuah buku kecil dan secarik amplop di sana. Nanda bergegas membuka buku kecil tersebut. Ternyata isinya adalah kenangan terindah mereka berdua dan Rayhan menuliskan sebuah puisi untuknya. Lalu, Nanda pun membuka secarik amplop yang berisikan sebuah pesan janji yang pernah disepakati oleh merka berdua.
“Hey Nanda, Ini detik Aku melepasmu. Dan Aku akan kembali lagi pada bayanganmu dan menggenggam hampa jemari yang berjarak. Aku turut bahagia dengan orang yang selalu Kau ceritakan padaku saat dulu. Hey, Aku pamit ke Jepang ya, aku tetap teringat dirimu mengenakan Gaun Merah saat kuwisuda disana. Lupakan saja, tak mengapa. Kalau Kamu datang, Aku berjanji tidak akan bertanya kenapa baru sekarang. Kalau Kamu datang, Aku berjanji tidak akan membuatmu berdiri didepan pintu terlalu lama dan, tolong jangan pergi!!”
Hening kamar kemudian pecah dengan isak tangis yang Nanda rasakan. Ia sadar seharusnya pada saat Anji menembak, Ia menolaknya agar tak kehilangan perasaan cinta pada Rayhan sekaligus tak melupakan Rayhan begitu saja, padahal, yang selama ini ada untuknya adalah Rayhan seorang. Karena tangisan Nanda kencang, Mamah Nanda pun masuk ke kamarnya.
“Ada apa cantik, kok nangis gini?” Tanya Mamah Nanda
“Aku telah mengecewakan Rayhan hanya karna Anji, Mah, saat itu Aku hanya memikirkan duniaku tanpa memikirkan perasaan Rayhan. Dan pada saat aku membuka laci aku menemukan ini, Mah” jawab Nanda dengan isak tangis.
“Iya, rayhan memberi ini, dia sempat mencarimu cuman kamu sedang keluar bersama Anji.” balas Mama.
Karna tak sengaja mendengar isakan tangis Nanda, Haris kakak Nanda datang.
“Ada apa sih, kok nangis gini, kayak anak kecil?” tanya Haris.
“Adikmu ini, mengecewakan Rayhan karna pacarnya itu loh bang” jawab sang Mamah
“Hmmm, giliran gini aja baru nyesal, sesal megecewakan apa sesal karna baru sadar kamu ada rasa sama dia? Hahaha. Tak usah menangis, aku baru dapat kabar dari pamannya Rayhan, minggu depan dia wisuda di Kyoto” ucap Haris dengan santai.
“Benarkah, Bang? “ Tanyanya.
“Iyaa, udah gak usah nangis itu mata bengkak banget kayak belum ikut suntik kaki gajah” ledek abangnya.
Minggu depan pun tiba. Rayhan teringat janji yang pernah Nanda ucap bahwa dia akan datang dengan Gaun Merah. Sorot matanya tak lepas dari pintu masuk gedung berharap seseorang wanita cantik yang ia harapkan datang dan memakai gaun merah. Acara wisuda pun selesai, Rayhan keluar dengan perasaan kecewa yang sangat mendalam. Ia pun mencoba menenangkan diri di taman belakang kampusnya.
“Sedang menunggu perempuan bergaun merah, Tuan?” Muncul suara dari arah belakang.
Rayhan menoleh ke belakang dan mengenali perempuan tersebut yang tak lain ialah Nanda. Nanda terlihat cantik mengenakan gaun merah saat itu.
“Nanda? Ini kamu? Cantik sekali” puji Rayhan sambil memastikan.
“Iyalah masa aku kang dadang ih!” sengut Nanda.
“Kamu perempuan cantik yang pernah aku lihat” puji rehan dengan menatap Nanda.
“Mulai deh gombalnya, dari dulu gak ada habis-habisnya. Ini buat kamu” Nanda memberi bingkisan kotak pada Rayhan.
Rayhan pun membukanya. Isi dalam kotak tersebut ialah Kopi Kang Dadang dan secarik amplop” Rayhan membaca isi amplop tersebut.
“Ketika datang kepadaku sebuah pertanyaan, cinta itu seperti apa? Menurutku cinta ialah ketika aku meminta mata untuk terus melihat punggungmu, hingga hilang diujung jalan depan rumah. Ketika sesuatu yang menahanku untuk tidak berkedip, takut akan kehilangan senyummu. Ketika sesuatu yang terselip di jari, kala kamu menggengam tanganku. Harmoni tawa untuk sebuah hal hal yang tak lucu dilakukan bersama-sama. Ketika aku dan kamu sama-sama ingin mewujdukan apa-apa yang kita inginkan. Sepertinya aku belum tahu banyak tentang cinta, kita hanya sebatas teman kecil yang menghabiskan detik bersama”
Rayhan melipat amplop tersebut dan berkata pada Nanda.
“Aku tidak pernah menanyakan apa itu cinta hingga kau datang dengan ribuan tanya. Nan, jawaban dari pertanyaan di fikiranmu ialah Kau. Dan Kau, adalah jawabanku, atas hal hal yang bahkan belum kutanyakan.”
Nanda pun tersipu malu.
“Maukah kita bersama sama hingga aksara memudar dan detik jam tak berputar lagi, teman kecilku? Tanyanya sambil memegang tangan Nanda.
“Iya,” Nanda mengangguk dan memberi jawaban pada Rayhan.
Pada saat itu Kota Kyoto menjadi saksi perjalanan kisah hidup mereka yang bermula bersahabat sebagai teman kecil dan sekarang mereka menjadi teman hidup.
01 Maret 2020
Langganan:
Postingan (Atom)