Kartika atau biasa dipanggil Tika. Mahasiswa semester delapan. Sejak semester 3 lalu, ia sibuk mengikuti kegiatan jurnalistik di kampus. Tika memang selalu diandalkan oleh teman-temannya. Hingga skripsinya ia abaikan demi kegiatan yang ia sukai ini. Tak jarang, saat ada acara kampus, ia selalu pulang malam. Apa lagi kalau bukan membuat artikel untuk diterbitkan hari itu juga.
Pukul 11 malam. Acara kampus tadi pagi mengharuskannya untuk lembur artikel sampai larut. Tika ditemani 2 temannya. Hendri dan Faniya. 2 temannya itu terpaksa pulang lebih awal karena besok ada kuliah jam 7. Kebetulan Tika besok libur. Mereka meninggalkan Tika seorang diri. It’s oke. Gadis itu terbiasa hidup sendiri di kontrakannya.
“Tik, kamu gak apa-apa kan di sini sendirian?” tanya Hendri.
“Santai aja, aku juga ingin pulang tapi ini belum selesai, gimana dong? terpaksa harus selesai malam ini juga” jawabnya tanpa menatap Hendri.
“Beneran? Ini kampus udah sepi loh, kamu gak takut?” tanya Faniya meyakinkan Tika
“Udah, aku okeh kok di sini. Takut, emang ada apaan? Kecoa? Tikus? Atau mantan kesurupan? Hahaha” Tika menjawab dengan santai.
“Hihhh, dibilangin juga. katanya kalo udah jam setengah 12 suka ada suara gitar di ruang musik loh... tapi gak ada orang” jelas Faniya serius.
“Percaya yang gituan, nanti aku samperin deh dia. Hahaha... udah sana pulang.” Tika masih saja menganggapnya enteng.
Malam semakin larut. Pekerjaannya sebentar lagi selesai tapi mulutnya selalu saja menguap. Akhirnya ia bangkit ke kamar mandi untuk mencuci muka. Kamar mandi terlentak paling ujung, otomatis ia harus melewati ruang musik. Tika berjalan pelan, hanya terdengar suara langkahnya menggema. Ia sama sekali tidak takut.
Setelah mencuci mukanya, Tika menatap kaca sebentar. Tiba-tiba ia mendengar sesuatu. Suara gitar mengalun dengan pelan. Ia abaikan, tapi suaranya terus mengalun terbawa oleh angin malam. Rasa penasarannya menjadi-jadi.
karena penasaran Tika menghampiri sumber suara. Diintipnya ruangan lewat jendela sembari mengendap-endap. Dilihatnya ruangan kosong tak berperangai, “ahh, aku tak percaya hantu” gerutu Tika sambil mendengus kesal. Dibaliknya badan mungil miliknya, terkejut Tika saat didapatinya Sesosok badan hitam besar berambut awut-awutan di depan matanya. “ahhhhhhhhh” teriak Tika yang kemudian sontak lari terbirit-birit berusaha keluar gedung. Dengan gagap dan tak pikir panjang, Tika langsung lari melewati lorong kelas yang sudah gelap. Tapi setelah berlalu cukup lama, ia menyadari tak menemukan pintu keluar. Padahal ruangan yang dipakainya untuk membuat tugas tak jauh dari pintu keluar gedung. “haisshhhh” gerutunya.
Ketika ia menengok ke belakang. Deg. Sosok hitam itu mengintip dari belakang pintu yang terbuka.
“ ka... kamu siapa?” teriak Tika dengan nada ketakutan. Hening. Tak ada jawaban. Perasaannya semakin takut.
“tolong, jangan ganggu aku. Aku gak niat ganggu kamu. Kita masing-masing aja, yaa... kalo mau main gitar silakan lanjutkan. Aku gak akan ganggu. Yaa...” teriaknya lagi tanpa berharap menunggu jawaban. Namun, sosok hitam itu masih tak bergeming dari tempatnya. Dia masih mengintip dari balik pintu.
Tika semakin ketakutan, dia tidak tau harus bagaimana lagi. Keringat dingin sudah membasahi bajunya. Astaghfirulloh.
“aku bacain ayat qursi nih, kalo kamu gak mau pergi juga.” Teriaknya lagi. Berharap sosok itu menghilang. Namun, tiba-tiba sosok itu menghampirinya. Lorong hampir gelap, karena penerangannya hanya terdapat di ujung koridor, membuat sosok itu semakin menyeramkan.
“ Astaghfirulohal adzim, audzubillahi minas syaitoonirrojiim, allohu laa ilaaha ilaahual hayyul qoyyum...” ucapnya lirih sambil menutup matanya. Ketakutan sudah menjalar ke seluruh tubuhnya. “yaa Alloh... yaa Alloh, selamatkan aku. Aku masih mau merasakan lulus kuliah taun ini. Aku mohon, yaa Alloh. Kasian sama Emak dan Bapak yang udah biayaain aku sampai akhir.” Rengeknya sambil menangis karena ketakutan.
Tep. Ada yang memegang pundaknya. “aaaakkkkk” Tika terlonjak ke belakang saking kagetnya.
“kamu ngapain jongkok di sini?” ternyata itu Hendri temannya
“ahh...untunglah. ternyata kamu” ucap Tika girang. Seolah melihat malaikat yang Alloh turunkan untuk menolongnya.
“aku balik lagi ke sini karena kepikiran kamu. Perempuan sendirian di tengah malam. Gak ada siapa-siapa. Takut ada yang nyulik.” Jelas Hendri
“i..iyaa... makasih banget, Dri. Kamu datang di waktu yang tepat. Kamu emang malaikat tanpa sayap.”
“yaudah, ayo pulang” ajak Hendri
“iya, tapi temenin aku dulu ngambil barang-barang di ruangan”
Akhirnya Tika pulang ditemani Hendri. Namun, dalam fikirannya tertuju pada kejadian tadi. “siapa sosok itu? Masa hantu?” fikirnya. “Apa nanti malam aku datang lagi ya? Memastikan kebenaran sosoknya.
* * *
Malam itu Tika kembali lagi ke kampus sendirian, meski tidak ada jadwal perkuliahan. Rasa penasaran mengalahkan ketakutan yang mencokol dalam dirinya. Ia hanya ingin memastikan siapa sosok yang menakuti para Mahasiswa. Yaa kali aja itu bukan hantu. Fikirnya.
Persiapannya sudah matang, menurutnya. Senter, palu untuk memukul lawan, kamera on di kepala, telepon on, takut-takut terjadi apa-apa, dia akan langsung menelepon polisi. Nice. Ia sengaja tidak meminta bantuan teman-temannya, karena tau mereka tidak akan mau meski dipaksa dengan sebongkah emas berlian sekalipun.
Dia bersembunyi di ruangan tempat si sosok hitam itu bersemayam. Memperhatikan sekeliling ruang musik. Tidak ada yang aneh. Fikirnya. Namun pandangannya tertuju pada sebuah gitar tua. Bentuknya klasik, unik. “apa gitar ini yang dipakai si misterius itu tadi malam? Hihhh aneh banget” tubuhnya tiba-tiba merinding. Tika tak berani menghampiri gitar itu. Dia hanya berniat bersembunyi di balik sebuah piano di dekat pintu. Oke, waktu menunjukan pukul 9.
Tik tok tik tok. Tak ada tanda-tanda kemunculan si hitam besar. Dan Tika mulai merasakan kantung. Tidak terasa dia tertidur. dasar kaum rebahan, tidak bisa begadang sedikit saja. Tiba-tiba...
Jreng... teng teng jreng... ahh...Tika terperanjat kaget dari tidurnya. “akhirnya kamu datang juga” bisiknya lirih. Suara gitu mulai terdengar. Tika memegang palunya erat-erat, mulai mengintip sedikit-sedikit dari balik piano. Didapati sosok itu membelakangi dirinya. Lampu ruangan tidak dinyalakan, penglihatannya hanya dibantu oleh cahaya bulan yang menembus jendela ruangan. Membuat bayangan sosok itu semakin menyeramkan.
Tika menghela nafas panjang. Ia siap untuk memergoki dan menangkan si hitam besar itu. 1...2...3... ia menghitung dalam hati.
Trek. Pess. Senter dinyalakan. Mengarahkannya ke sosok itu. Dan....“aaaaakkkk” “aaaaakkkk” suara teriakan dua orang yang berbeda. Deg. Tengg.... suara benda keras terjatuh.
“si... siapa kamu?”
“ja... jangan mendekat!”
“maap mengagetkan. Apa yang kamu lakukan di sini?” kata sosok hitam itu.
“a...aku tidak sengaja bersembunyi di sini” jawab Tika terbata karena ketakutan. “ka...kamu yang setiap malam bermain gitar di sini?” tanyanya kembali.
“iya...aku yang setiap malam bermain gitar di sini. Maap sudah membuatmu takut malam kemarin. Aku tidak bermaksud” ucap laki-laki itu lirih.
“tapi kenapa harus malam-malam begini? Di tengah kegelapan pula” sanggahnya.
“tempat ini adalah tempat paling nyaman dan tenang. Jarang ada yang datang malam-malam ke ruang musik. Jadi aku bisa sendirian dan menyepi di sini.” Jawab laki-laki itu dengan tenang.
“kamu baik-baik saja?” sergah Tika tiba-tiba.
“tidak sepertimu yang bisa dengan mudah menghilangkan kesakitan. Setelah kehilanganmu, aku tak lagi berfikir untuk hidup normal. Mengurus badan, makan teratur, tidur teratur. Aku tak lagi memikirkan itu. Yang aku inginkan hanya perenungan.” Kata laki-laki itu dengan nada sendu.
“perenungan untuk apa?”
“mengapa kamu pergi.” Jawabnya dengan lesu.
“kamu jangan begitu. meski sudah berpisah, kita masih bisa berteman. Tidak perlu kamu menyiksa diri seperti ini, rambut gondrong, baju berantakan. Hidupmu masih terus berlanjut, Ki.” Dengan perlahan Tika menghampiri laki-laki itu.
Ternyata, sosok yang selama ini menakuti Mahasiswa adalah mantannya sendiri. Seorang kekasih yang ia putuskan beberapa bulan lalu. Tika tidak menyangka akan berdampak seperti ini. Kasihan sekali jiwanya.
“kita pulang ya... pasti kamu belum makan.” Ajak Tika pada Rifki untuk segera pergi dari sana.
“maapkan aku...” ucapnya.
“hmm... maafkan aku juga, sudah membuatmu seperti ini.” Kata tika sembari berjalan mendahuluinya.
Pada jati dirimu aku berlabuh
Pada hatimu aku mendayung
Pada masa depanmu aku menurunkan jangkar
Namun,
Bagaimana jika pikiranmu tak memperbolehkan itu
Apa yang harus aku lakukan jika pintumu tak terbuka untukku menetap
Padahal jati diriku sudah kau renggut, kekasih...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar